Minggu, 30 Juni 2013

HIKAYAT MUSANG BERJANGGUT

HIKAYAT MUSANG BERJANGGUT

Tertulislah pada zaman dahulu kala sebuah kerajaan Melayu bernama Negeri Parun. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Negeri Parun yang bijak dan dicintai rakyatnya. Namun, satu-satunya yang merisaukan hati beliau adalah ketiadaan pewaris, pengganti dirinya jika kelak turun tahta. Usia sudah menanjak tinggi, belum ada tanda-tanda Permaisuri akan memberi mereka seorang buah hati.

Maka berembuklah Raja dengan Permaisuri, dan bulat-sepakat bahwa mereka akan mencari anak angkat yang pantas dari kalangan rakyat Negeri Parun. Raja pun menjelajahi negeri untuk mencari bakal putra mahkota penggantinya kelak. Lama mencari, akhirnya Raja menemukan sosok anak angkat itu dalam sebuah keluarga miskin di ujung negeri. Suka hatinya melihat kanak-kanak dari keluarga melarat itu. Meski melarat, sopan mereka pada siapa saja. Baik bimbingan keluarganya, taat beragama, sehat badannya dan tidak gentar menantang mata Raja. Dengan izin dari kelurganya, maka diambillah dia, putra jelata itu, sebagai Putra Mahkota. Menjadi kesayangan Raja dan Permaisuri.

Anak itu bernama Tun Utama.

Meski tumbuh dalam keluarga kerajaan, dia tak diizinkan lupa pada muasal dirinya. Sesekali dikunjunginya orang tuanya di sudut negeri. Tahun-tahun berganti dan Tun Utama pun tumbuh dewasa. Seperti biasa para pangeran dalam cerita dimana-mana jua, jadilah dia kumbang yang diharap-harap kembang, diharap bunga-bunga untuk sudi memetik dan membawa si bunga ke istana.

Namun itulah yang merisaukan hati Raja. Usianya sudah menua, dan Tun Utama sudah tumbuh dewasa. Tetapi tak terlihat tanda-tanda bahwa Sang Putra Mahkota akan berumah-tangga. Pergaulannya dengan lawan jenis hanya sekilas mata, tak terlihat bahwa ada yang menarik di hatinya.

Bukan cuma Raja yang risau, para petinggi istana yang berkehendak anak-anak gadisnya menjadi permaisuri Tun Utama pun sudah tak sabar, hendak melihat siapa yang dipilih oleh Putra Mahkota di antara anak-anak gadis mereka. Dengan pengaduan mereka pula, maka kesabaran Raja pun sampai di titik nadir.

Dipanggillah Tun Utama ke balairung istana untuk disidang di satu hari. Dengan duduk bersimpuh dia menghadap Raja, di kiri-kanannya dilingkari para punggawa. Dan Raja pun, setelah berpantun kian-kemari mencucurkan hikayat dan nasihat, mengutarakan keprihatinannya soal jodoh Tun Utama.

Tun Utama pun sadar bahwa persidangan itu tak lain campur tangan para punggawa juga. Maka, setelah Raja memuji-muji gadis-gadis di lingkar istana, dia pun memberi jawaban yang membuat balairung terdiam. Jawaban semacam ini,

“Ampun beribu ampun, Tuanku. Bukan tak ada hasrat hati hamba untuk mempersunting seorang perempuan sebagai istri. Namun apa yang hamba cari tak ada di sini. Hamba mencari perempuan, ada pun semua gadis-gadis yang Tuanku sebut, di mata hamba bukanlah perempuan, melainkan betina saja adanya.”

Masam lah muka para punggawa, merasa malu pula Raja sebab ucapan yang dirasa menghina dari Tun Utama. Jelas-jelas Sang Putra Mahkota menolak memperistri salah satu dari gadis-gadis putri pembesar kerajaan langsung di balairung tersebut. Dengan menahan geramnya, Raja pun bertanya seperti apa kriteria “perempuan” dan apa pula maksudnya dengan kata “betina” terhadap gadis-gadis istana.

Tun Utama pun menjawab dengan ringkas,

“Seperti apa perempuan yang hamba cari, cukuplah hamba dan hati hamba saja yang tahu, Tuanku. Namun teranglah beda antara perempuan dan betina di mata hamba. Perempuan menjaga marwah, tapi betina menjualnya.”

Seisi balairung riuh. Para punggawa gusar dengan hinaan tersebut. Raja pun murka. Bangkit beliau dari tahtanya dan memberi ultimatum: Akan diberi kesempatan dalam 1 tahun kepada Tun Utama untuk mencari jenis perempuan yang disebutnya. Jika dalam tempo satu tahun Tun Utama tidak menemukan perempuan tersebut dan tidak membawanya pulang ke Negeri Parun, maka dia akan dipecat sebagai Putra Mahkota dan akan dihukum pancung.

Tun Utama menerima tantangan Raja. Dia mengundurkan diri dari balairung dengan rasa puas pada wajah-wajah marah para punggawa. Kejemuannya diusik oleh gadis-gadis kiriman orang tua mereka yang berhasrat hidup mewah sebagai permaisurinya, lunaslah sudah.

Pulanglah Tun Utama ke rumah keluarganya untuk mempersiapkan perjalanannya mencari perempuan dan bukan betina, seperti yang sudah dijanjikannya. Ibu kandungnya, dengan bercucur air mata menyesali sikap keras-kepalanya, membantu juga dengan memberikannya sekantung beras khusus untuk dibawa serta dalam perjalanannya, dan mengajarkan bagaimana cara membuat beras siap masak yang serupa.

Beras dalam kantung pemberian ibunya, beserta teknik pembuatannya itu, akan menjadi salah satu penguji perempuan sejati menurut Tun Utama. Beras demikian bukan beras biasa. Meski pun berasnya sama belaka dengan yang dimakan rakyat biasa, dalam kantung beras tersebut, segala bumbu, kacang, lauk-pauk, yang semuanya mentah, sudah bercampur-aduk. Sekilas melihat, orang dapur akan mengira beras tersebut sudah rusak, sudah terguncang dalam perjalanan sehingga sukar untuk dimasak.

Dalam perjalanannya, Tun Utama menjelajahi negeri tanpa membuka identitas dirinya. Ada beberapa kali dia bertemu rumah berisi anak gadis, yang dipintanya dengan sopan pada ahli keluarga untuk menginap. Alasannya sebagai musafir dan keramahan orang Melayu pada perantau asing, memudahkannya untuk menguji pencariannya. Setiap dia menginap, dengan sopan dia selalu menolak disajikan makanan orang rumah. Dengan beralasan sedang melakukan perjalanan nazar, maka disodorkannya beras kaul yang aneh tersebut. Setiap masakan tersaji, maka Tun Utama pun -dengan pura-pura sekedar bertanya- akan memancing pemberitahuan siapakah yang memasaknya.

Hingga lepas dari Negeri Parun, tak ada yang berkenan di hatinya, dan tak ada pula yng bisa memasak beras tersebut. Rumah pertama yang disinggahinya, yang berisikan satu anak gadis di dalamnya, dengan semena-mena membuang beras itu dan menggantinya dengan beras biasa. Lepas subuh, Tun Utama pun pamit dengan dipandang kecewa oleh si anak gadis dari jendela.

Rumah berikut yang disinggahinya di ujung negeri, dengan semena-mena pula anak gadisnya menunggingkan isi beras begitu saja untuk dimasak. Usai suapan pertama, Tun Utama langsung menyudahi makannya. Rasa-rasa berhimpit tenggorokannya dengan makanan tak bertakar serupa itu, makanan yang dimasak dengan kasar, sementah-mentah bawaan bekal.

Bulan-bulan berlalu, beras bekal ibunya sudah lama berganti dengan olahannya sendiri. Masih juga tak ditemukannya apa yang dicari. Hingga sampailah Tun Utama di pelabuhan ujung negeri lain. Hasrat hatinya hendak menyeberang laut, untuk mencari perempuan yang diimpikan. Namun tak ada kapal yang berani berlayar, sebab ombak sedang besar di lautan. Bekal keuangannya pun sudah menipis. Ada satu kapal disebut-sebut, namun tak sembarang orang bisa menumpang di kapal itu. Namanya Kapal Terus Mata

Di sana, di sebuah warung, bertemulah dia dengan Nahkoda Terus Mata. Nahkoda Terus Mata ini bawaannya kasar. Kalau bicara suaranya menggelegar. Anak buahnya ramai, dan wibawanya seperti kepala perompak yang disegani. Awal perkenalan mereka sendiri menegangkan. Tun Utama memasuki warung dan dengan tak merasa bersalah, menarik kursi kosong. Kursi kosong itu merupakan sebelumnya diduduki Sang Nahkoda yang sedang mabuk tuak, yang menari-nari di dekatnya. Jatuh terduduklah Sang Nahkoda di lantai karena mengira kursinya masih di tempat yang sama.

“Siapa monyetnya yang berani mengambil kursiku?!!”

Seisi warung hening memandang Tun Utama, seakan prihatin melihat calon mayat yang masih muda belia. Namun Tun Utama dengan cerdas dan tenang menjawab bahwa jika Sang Nahkoda masih duduk di kursi, tentu tak akan berpindah sendiri kursi tersebut. Kursi kosong adalah kursi tak berpenghuni, dan di warung sesiapa saja boleh duduk di kursi tak berpenghuni.

Nahkoda Terus Mata terpikat hatinya pada tutur dan keberanian Tun Utama tegak di depannya. Meski dia berkata, “Monyet kecil ini banyak bicara!” namun tak juga dikepalkan tinjunya. Diamat-amatinya sosok Tun Utama, yang dinilainya sebagai wajah terpelajar yang tak pantas berada di situ. Dia pun bertanya darimana dan hendak kemana rupanya Tun Utama.

Tun Utama pun mengutarakan keinginannya untuk berlayar ke negeri seberang. Namun karena bekalnya sudah sedikit, dia mohon dizinkan menumpang sambil bekerja di kapal Terus Mata. Nahkoda Terus Mata tertawa terpingkal-pingkal. Badan Tun Utama memang sehat, namun baginya tak cukup kuat untuk bekerja di kapalnya, Kapal Terus Mata yang tersohor di Selat Malaka. Namun, diberi juga izin olehnya dengan ejekan seumpama Tun Utama tak kuat, boleh dia menyerah melompat ke dasar laut.

Berlayarlah Tun Utama dengan kapal Terus Mata. Dalam perjalanan, lamban-laun makin simpati Sang Nahkoda pada Tun Utama. Kedekatan mereka berdua membuka rahasia tujuan Tun Utama yang membuatnya terheran-heran. Sebuah perjalanan mencari perempuan dan bukan betina yang tak masuk di akalnya. Bagi Nahkoda, semua perempuan adalah betina belaka, hanya berguna dipelihara untuk beranak dan memasak. Lain tidak. Namun, tak disembunyikan rasa kagumnya pada keras tekad Tun Utama hendak mencari perempuan yang diimpikan.

Pelayaran pun singgah di satu pelabuhan yang jauh. Negeri Pasir [jika aku tak salah ingat]. Pelabuhan itu kering dan sepi. Tak banyak kapal yang singgah. Tun Utama mencoba peruntungan terakhirnya dengan melompat turun dari kapal. Setahun hampir menjelang tiba. Jika tak juga di negeri itu dia bertemu apa yang dicari, akan ditunggunya kapal untuk kembali ke Negeri Parun, menerima hukuman yang sudah dijanjikan.

Dari pelabuhan, Tun Utama berjalan kaki memasuki pedalaman. Seharian berjalan, berkelok-kelok, dia pun berpapasan dengan seorang petani menjelang hari senja. Si Petani melihat Tun Utama termangu-mangu di persimpangan jalan. Terjadilah dialog yang masih segar kuingat-ingat begini:

“Anak ini darimana hendak kemana?”

“Hendak mencari rumah tak berdapur. Ada rumah tak berdapur di sekitar sini, Bapak?”

Bingung Si Petani dengan jawaban serupa itu.

“Rumah tak berdapur? Daripada mencari rumah tak berdapur, bukankah lebih bagus rumah berdapur?”

Tun Utama pun menyambut baik tawaran Si Petani untuk menginap di rumah beliau. Perjalanan ke rumah petani menjelang senja itu menghadirkan keheranan lain pada Si Petani. Sementara beliau membuka kasut saat memasuki lumpur, Tun Utama tak melepas kasutnya. Ketika melewati sebuah jembatan kecil, Tun Utama menyebut “Titian kera”. Saat melintas jalanan kecil setapak, disebut Tun Utama “jalan kelinci berlari”. Dan ketika melewati pohonan dimana kelelawar melintas-lintas, beliau terheran-heran melihat Tun Utama membuka payung meski hari tak hujan. Namun Si Petani tak bertanya apa-apa. Disimpannya semua pertanyaan di dalam dadanya.

Sampailah mereka di sebuah rumah di ujung desa. Rumah itu cukup luas namun terlihat lengang. Si Petani mempersilakan masuk, menyuruhnya mandi dan bersiap untuk shalat maghrib, sambil memberitahu bahwa di rumah itu cuma ada mereka bertiga: dirinya sendiri, istri dan anak gadisnya.

Pada malam hari selepas maghrib, seperti biasa Tun Utama pun menyodorkan “beras rusak” yang dibawanya itu dengan alasan nazar dalam perjalanan, kepada Si Petani. Seperti biasa adat Melayu zaman, dimana anak gadis tak bisa menampakkan diri pada tamu non-muhrim, maka yang ada cuma dia dan suami-istri pemilik rumah. Istri petani dengan terheran-heran membawa beras ke dapur, dimana seorang gadis bersiap menyajikan masakan. Sajiannya tertunda dengan “beras rusak” yang dibawa ibunya. Dengan heran dan penasaran dia bertanya-tanya siapa tamu yang dibawa ayahnya itu. Sebab, Si Petani rupanya bukan orang yang suka membawa orang asing ke rumah, jika tidak berkenan di hatinya. Mendengar gelak-tawa Tun Utama dan ayahnya dari ruang depan, kentaralah bahwa ada yang mengena di antara mereka.

Sementara ibunya menyuruh mengganti beras tersebut, Si Gadis menolak dan tersenyum-senyum melihatnya. Dia pun mengambil alat-alat masak, memisahkan bumbu yang bercampur-aduk dan mengolah kembali isi “beras rusak” tersebut agar bisa disajikan sebagai makan malam.

Ketika hidangan tersaji di depan Tun Utama dan Si Petani, terlihat tidak ada yang istimewa. Si Petani yang mengira isi beras berbeda dengan yang biasa mereka makan, menjadi heran meskipun diam saja melihat sajian “beras kaul” itu tak berbeda dengan apa yang tersaji untuknya.

Tun Utama sendiri, setelah suapan pertama, tercenung dengan penasaran. Masakan yang dimakannya membawanya serasa kembali ke Negeri Parun. Tak jauh beda dengan masakan ibunya. Kentara bahwa “beras rusak” tersebut sudah dimasak dengan semestinya.

Dengan gaya biasa, seakan sepintas lalu, Tun Utama pun memuji masakan istri Si Petani. Namun Si Petani dan istrinya menjawab bahwa masakan itu adalah masakan anak gadis mereka yang di dapur. Tun Utama kini menjadi penasaran. Ketika makan malam selesai, lepas sembahyang isya, saat rebahan di kamar tamu yang disediakan, ia menjadi bertanya-tanya seperti apa anak gadis Si Petani itu. Hingga terdengar olehnya mereka bercakap-cakap di ruang tak jauh dari kamarnya. Membicarakan dirinya.

Si Petani mengisahkan anehnya pemuda yang satu itu. Keheranannya dalam perjalanan pulang menjelang senja dituturkan kepada anak dan istrinya. Mulai dari pertanyaan tentang “rumah tak berdapur”, sebutan “titian kera” saat melintas jembatan serta “jalan kelinci berlari”. Juga keheranannya karena Tun Utama tak membuka kasut saat memasuki lumpur, serta berpayung saat hujan tak turun.

Anak gadisnya tertawa kecil dan balik menyalahkan ayahnya dengan menerangkan satu per satu maksud dari ucapan dan perilaku tamu ayahnya itu. Bahwa disebut “titian kera” dan “jalan kelinci berlari” adalah perumpamaan semata, karena jembatan kecil itu memang lincah dilewati kera, sementara jalanan setapak yang sempit memang seukuran tubuh kelinci meloloskan diri. Sementara alasan kenapa kasut tak dilepas adalah karena khawatir ada beling atau onak duri di dalam lumpur, berbeda dengan ayahnya yang sudah terbiasa melewati jalanan yang sama, orang luar tentu mesti berhati-hati.

Si Petani masih terheran-heran.

“Dan apa pula yang dimaksudnya dengan rumah tak berdapur itu? Mana ada rumah yang tak berdapur?”

Anak gadisnya mengerling riang.

“Semua rumah tentu berdapur, ayahanda. Rumah tak berdapur adalah mushala atau mesjid adanya. Tentulah dia hendak menumpang inap di sana.”

Si Petani tertawa faham, lalu kembali bertanya,

“Lantas apa pula maksudnya berpayung saat tak hujan?”

Anak gadisnya tertawa jenaka. Diterangkannya bahwa guna berpayung demikian adalah untuk menjaga agar kepala tak kena kotoran burung atau kelelawar yang melintas-lintas. Tergelaklah Si Petani dan istrinya, sementara Tun Utama takjub mendengar penjelasan anak gadis itu. Dan tersentak menciut ketika suara anak gadis itu terdengar kembali, seperti sengaja dikeraskan.

“Hanya beras rusak itu saja yang aneh. Sekilas rusak berguncang, tapi sepertinya sengaja dibuat untuk menguji-uji orang dapur.”

Ketika pagi berlalu, selepas shalat subuh, Tun Utama memutar pikiran mencari alasan agar bisa tinggal sedikit lama di rumah tersebut, untuk menuntaskan rasa penasarannya. Saat pagi tiba, dia bermangu di pinggir sungai dan memandangi takjub kincir air yang belum pernah dijumpainya dalam perjalanannya. Penasaran hendak melintas air sungai, dilompatinya bebatuan, hingga sebuah suara terdengar mengejutkannya. Suara yang berseru, “Hati-hati, Tuan… nanti…”

Terlambat. Tun Utama tercebur menginjak batu licin. Terkilir kakinya dan susah payah berenang ke pinggir sungai, dan ditarik ke darat oleh pemilik suara yang mengagetkannya itu. Seorang anak gadis rupawan yang baru pulang mencuci kain. Si Gadis meminta maaf karena mengagetkannya, namun Tun Utama tak mempermasalahkan soal itu. Apa yang membuat hatinya kaget adalah pengakuan bahwa gadis itu adalah anak dari Si Petani dimana dia menumpang.

Namanya, Siti Syarifah.

Dengan dipapah oleh Syarifah, pulanglah mereka ke rumah. Berpapasan dengan Si Petani yang di hari itu cepat pulag dari sawahnya. Kaget Si Petani melihat anaknya memapah pemuda asing yang menjadi tamunya, namun selepas dilihatnya kaki Tun Utama terkilir, dimintalah maaf olehnya dengan rasa tak enak hati karena tamu tercedera di rumahnya sendiri. Dipintanya Tun Utama bertahan sedikit lama sampai sembuh, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.

Tun Utama diam-diam girang bukan kepalang. Hari demi hari berlalu dalam masa penyembuhan kakinya. Dia pun sesekali berkomunikasi dengan Syarifah. Terkadang dari jendela dipandanginya anak gadis rupawan yang cerdas itu. Hingga saat kakinya sembuh, dia pun mengutarakan keinginan untuk berangkat pada Si Petani.

Di lapak makan malam, di bentangan tikar, suasananya tergambar sepi. Suami istri Petani yang sudah suka dengannya, tampak sedih. Demikian pula dengan Tun Utama. Ketika makan malam usai, Tun Utama beringsut menghadap Si Petani. Mengutarakan sekali lagi bahwa dia akan pergi dari negeri tersebut, namun dengan membawa serta Syarifah sebagai istri. Jika segenggam mas kawin untuk Syarifah tidak berarti apa-apa, dia akan tetap pamit juga, dengan membawa dirinya sendiri.

Sementara Si Gadis yang sudah jatuh cinta menangis di kamarnya, di rangkulan ibunya, mata Si Petani berkaca-kaca. Mendapatkan menantu memang sudah lama diidamkannya, namun anak gadisnya terlalu keras kepala. Dan kini Si Gadis sudah dipinta oleh orang muda yang mereka suka. Tak menjadi masalah baginya, namun tentu putusan ada pada Syarifah jua.

Ketika Si Petani pamit untuk bertanya, istrinya mencegat di depan pintu kamar Si Gadis. Menggeleng pertanda tak perlu bertanya apa-apa lagi. “Tunggu apa lagi? Terima saja! Anak kita sudah setuju!”

Pernikahan pun dilangsungkan. Ternyata Si Petani adalah mantan pimpinan laskar kerajaan negeri itu dahulunya. Besar namanya maka meriahlah pesta. Undangan datang dari mana-mana. Sementara kerahasiaan identitas Tun Utama pun kemudian dibuka hanya pada istri dan mertuanya saja. Ternyata curiga-mencurigai sudah lama ada di antara mereka. Sejak senja dia tiba di rumah tersebut hingga beras penguji orang dapur. Syarifah tak merasa heran dengan status pangeran Tun Utama, sudah lama dia curiga pemuda itu bukan pemuda bisa. Lagi pula, jia pun bukan itu adanya, dia sudah terpikat sejak “beras rusak” ditumpahkan untuk disukat.

Sementara Tun Utama mengakui bahwa jatuh ke sungai lalu terkilir adalah sakit. Tapi jatuh hati di hari itu adalah pengobatnya. Jadi, penyesalan Syarifah di hari itu tak jadi masalah. Karena siapa yang jatuh siapa yang menjatuhkan? Hati mereka juga jadinya.

*aww… cuiit… cuiit!*  

Setelah beberapa lama Tun Utama memperpanjang masa tinggalnya dengan keluarga barunya, bersiap-siaplah dia kembali ke Negeri Parun. Dengan izin dari ibu dan bapak Siti Syarifah, keluarlah mereka sekeluarga dari negeri itu menuju pelabuhan.

Pernikahannya dengan Siti Syarifah yang cantik rupawan, ternyata sudah mengundang dengki seorang pemuda negeri tersebut. Anak orang kaya bangsawan yang sudah berkali ditolak oleh Syarifah lamarannya. Si Jambat, namanya. Sudah berbini dua masih hendak menambah Syarifah jauh sebelum Tun Utama tiba. Maka alangkah kesal hatinya, orang asing mencuri gadis idamannya. Kepergian Tun Utama dan Siti Syarifah pun diikutinya dengan membawa beberapa tukang pukulnya. Didahuluinya Tun Utama, memotong jalan ke arah pelabuhan, untuk merembukkan rencana. Di sana, bertemulah Si Jambat dengan Nahkoda Terus Mata yang sedang singgah. Dengan segera dia membayar dan naik untuk ikut kapal menuju pelabuhan lain dimana dia akan menanti Tun Utama dan Syarifah. Tun Utama dan Siti Syarifah pun bertemu kembali dengan Nahkoda Terus Mata.

“Coba kulihat! Bukankah ini monyetku yang cerdas, Tun Utama?” teriak Nahkoda Terus Mata.

Tun Utama mencari asal suara yang sudah dikenalnya. Melihat bekas induk semangnya, dengan takzim disalaminya juragan kapal yang kasar tapi baik hati itu. Nahkoda Terus Mata pun bertanya dengan kalimat kasarnya, apakah Tun Utama sudah mendapatkan perempuan yang dicari ataukah betina seperti kebanyakan. Tun Utama mengangguk dan memperkenalkan mertuanya serta istrinya kepada Nahkoda Terus Mata. Sang Nahkoda dengan cengiran kasar hanya sekedar saja menyalami ibu dan bapak Syarifah. Namun sikap kasarnya menguap seketika berhadapan dengan Siti Syarifah. Dengan kikuk disalaminya istri Tun Utama tersebut.

Ketika kapal mengangkat sauh, dan anak-beranak sudah melepas pelukan, Nahkoda Terus Mata mendekati Tun Utama dan berucap pelan,

“Jangan kau hiraukan ucapanku soal perempuan itu. Ucapanku itu cuma berlaku bagi perempuan kebanyakan. Tapi istrimu itu, jenis satu dalam seribu. Wajib kau jaga selama hidupmu.”

Tun Utama tergelak. Di balik perangai kasarnya, Nahkoda Terus Mata memiliki kejujuran yang sangat langka. Maka diceritakanlah olehnya bagaimana dia bertemu dengan Syarifah. Perkenalan yang dimesrakan oleh peristiwa jatuh di sungai, ketika dia tercebur basah dan ditolong oleh Syarifah; yang diolok-olok Nahkoda dengan pertanyaan jenaka, “Siapakah yang tertangguk di sungai itu? Ikan di dalam sungai ataukah penangguknya?”

Dalam perjalanan itu, makin kagumlah Nahkoda pada pilihan Tun Utama. Syarifah tak segan bersama suaminya belajar mengemudi kapal. Sekali waktu Nahkoda Terus Mata bertanya, “Beratkah rasanya, Puan Syarifah?” Siti Syarifah mengangguk tertawa di balik roda kemudi. “Rasakanlah beratnya kemudi kapal itu, Puan Syarifah. Tapi seberat-berat kemudi kapal Terus Mata, bagiku lebih berat mengemudi bahtera rumah tangga. Kalau itu aku jelas menyerah!” gelak Nahkoda Terus Mata.

Jawaban Syarifah yang lincah membuat Nahkoda Terus Mata tertawa kagum, ketika Syarifah menganalogikan bahwa seperti kapal yang berjalan karena kerjasama awaknya, dengan nahkoda, awak kapal, dan mualim, maka seperti itu pula bahtera rumah tangga bisa dikemudikan.

“Istrimu itu benar-benar jenis yang harus kau lindungi dengan nyawamu. Kalau tidak, berdosa besar engkau!”

Demikian desis Nahkoda Terus Mata pada Tun Utama yang berjanji akan menjalankan amanah Nahkoda tersebut.

Perjalanan pun akhirnya tiba di pelabuhan ujung Negeri Parun. Dari sana, Tun Utama memutuskan untuk berkuda berdua saja dengan Siti Syarifah, karena menunggu kapal langsung ke Negeri Parun akan memakan waktu lama. Mereka pun berpisah dengan janji akan bertemu kembali.

Sementara itu, Nahkoda Terus Mata mengajak tamu-tamunya yang menumpang kapalnya, rombongan Si Jambat, untuk bersenang-senang sebentar di warung di pelabuhan. Namun Si Jambat menolak halus dan berkata ada urusan seronok hendak diselesaikan di daratan. Mereka pun berpisah dengan sorot mata heran Nahkoda Terus Mata.

Tujuan Si Jambat pun tercapai sudah. Di satu jalan sepi pada malam esoknya, dapat juga dikejarnya Tun Utama dan Siti Syarifah. Dengan tukang pukulnya mengeroyok Tun Utama, dikejarnya Siti Syarifah -yang disuruh lari dengan kuda oleh Tun Utama. Siti Syarifah tertangkap, dan dengan segera dibawanya ke satu warung di pelabuhan ketika hari sudah beranjak larut malam. Dalam tawa cekikik wanita-wanita penghibur, dia disambut oleh kenalan-kenalannya di sana.

“Barang baru itu, Jambat?”

Jambat tergelak-gelak merangkul Syarifah yang berikat tali.

“Barang baru. Masih ganas, perlu dijinakkan!”

Demikian kata Si Jambat, dan menyuruh anak buahnya mengamankan Syarifah ke pojok warung dimana teman-teman kenalannya sedang bersuka.

Lalu satu suara menggelegar bertanya,

“Boleh kulihat barang barumu itu, Jambat?”

Tercekat hati Si Jambat. Suara menggelegar itu tak lain adalah suara Nahkoda Terus Mata. Dengan segan, Si Jambat pun mempersilakan Nahkoda Terus Mata mendekati Siti Syarifah.

Sang Nahkoda menatap lekat Siti Syarifah yang air matanya mencucur basah meski tak ada isak tangis terdengar. Dengan tenang dirapikannya rambut Syarifah yang berantakan, disekanya air mata perempuan yang dihormatinya itu, dan dirapikan kerudungnya yang terkulai di tengkuk. Dalam penerangan lampu warung dia berpaling ke seisi ruangan, memperlihatkan wajah Siti Syarifah.

“Perhatikanlah, Kawan-kawan. Perempuan seperti ini hanyalah satu di antara seribu. Tak akan mudah kau temui dimana pun juga.”

Lalu dengan geram ia berpaling kepada Si Jambat,

“Jadi ini urusan seronok yang kau katakan itu, Jambat?”

Si Jambat baru hendak menjawab, namun tinju Nahkoda Terus Mata sudah mematahkan batang hidungnya. Dengan marah Si Jambat mencabut goloknya, diikuti oleh teman-temannya, dan berteriak mengatakan betapa Nahkoda Terus Mata rupa-rupanya belum kenal siapa dia.

Nahkoda Terus Mata tertawa sinis. Dengan satu gerakan tangan memberi isyarat, terdengarlah bunyi senjata tajam dicabut dari seisi ruangan. Jumlah pengikut Nahkoda Terus Mata rupanya jauh lebih banyak dari gerombolan Si Jambat. Nahkoda Terus Mata pun memberi ultimatum: Jika Si Jambat tak memberi tahu dimana Tun Utama, isi benaknya akan dihamburkan di situ juga.

Sadar kalah dukungan, Si Jambat pun melarikan diri. Nahkoda Terus Mata melepas Syarifah dan bertanya kabar Tun Utama, lalu menitipkan Syarifah pada beberapa anak buahnya dan memutuskan untuk membagi dua rombongan. Satu mencari Si Jambat dan satunya mencari Tun Utama.

Pencarian Tun Utama pun sukses dilakukan. Di jalan lengang menuju ke arah lokasi penghadangan Tun Utama, bertemulah mereka. Tun Utama rupa-rupanya sudah menewaskan para pengeroyoknya, meski badannya sendiri luka-luka, dan mengambil kuda salah satu dari mereka untuk mengejar Si Jambat. Heran Nahkoda Terus Mata, dengan apa Tun Utama melawan, sementara dia tak bersenjata. Ternyata payung yang selalu dibawa Tun Utama, jika ditarik di gagangnya, akan mengeluarkan sebilah pedang tipis yang tajam.

Setelah Tun Utama bertemu dengan istri, Nahkoda pun memutuskan bahwa mereka mesti segera berangkat, langsung ke Negeri Parun. Penolakan Tun Utama dengan kekhawatiran urusan barang niaga di kapalnya akan terlantar, ditampiknya mentah-mentah. Dia bersikeras untuk mengantar mereka sendiri sampai selamat ke Negeri Parun.

Dalam perjalanan berlayar, di saat Tun Utama jatuh sakit di kapal, barulah Nahkoda Terus Mata tahu bahwa bekas anak buahnya itu adalah putra mahkota Kerajaan Negeri Parun.

Singkatnya, kepulangan mereka pun disambut gembira. Raja dan Permaisuri yang sudah lama menanti, sudah gelisah karena tahun akan berganti, berseri-seri menyambut Tun Utama dan Siti Syarifah. Di balairung istana, saat Tun Utama mengenalkan istrinya, seluruh mata terpesona. Meski tak paham seperti apa perempuan dan bukan betina yang dimaksudkan Tun Utama, namun mereka paham bahwa Siti Syarifah memang terlihat berbeda dengan gadis-gadis istana. Pesta pun digelar dan seisi negeri diundang bersuka.

Ketika hari-hari berlalu, makin terlihat sosok Syarifah yang menarik hati. Anak-anak suka bermain di dekatnya, mendengarnya bercerita. Rakyat pun suka dengan calon permaisuri di masa depan yang ramah pada mereka. Istri Tun Utama menjadi buah bibir, dari desa hingga ke istana. Semua orang jatuh cinta padanya. Sekedar mengagumi atau memang jatuh cinta, seperti yang dirasakan oleh beberapa punggawa istana yang mencoba meraih simpati Siti Syarifah, dan bahkan… Raja.

Di sinilah skandal istana bermula.

Raja yang dilamun asmara, kemudian merasa badannya tak sehat. Sudah beberapa tabib diundang untuk mengobatkan, tapi tak juga beliau merasa badannya sehat kembali. Hingga satu hari Tuan Kadi, jabatan salah satu punggawa yang berurusan dengan soal perkawinan, mengabarkan kepada Raja sebuah mimpinya: Obat kesembuhan Raja adalah seekor musang berjanggut.

Namun dimana akan dicari musang berjanggut?

Semua orang tertawa mendengarnya, meski Tuan Kadi Istana serius bercerita. Mencari seekor musang berjanggut adalah seperti mencari kuda bertanduk. Bisa habis usia baru bertemu.

Namun mimpi tersebut rupa-rupanya mendatangkan akal bagi mereka. Semua seperti berpikiran serupa: Inilah saat memisahkan Tun Utama dan Siti Syarifah, sehingga bisalah salah satu dari mereka merayu-cumbu Siti Syarifah barang semalam saja, hendak pula bisa selama-lamanya. Tentu saja pikiran demikian cuma tersimpan dalam hati masing-masing punggawa istana dan juga Raja.

Maka dipanggil lah Tun Utama menghadap. Dengan menyinggung tekadnya yang keras karena telah berhasil membawa pulang perempuan yang bukan betina, diharapkanlah kesediaannya untuk mencari pula musang berjanggut, demi kesembuhan Raja. Tun Utama, meski terheran-heran, menyanggupi perintah Raja, bahkan ketika hukuman pancung jika gagal diancamkan kepadanya. Raja, dengan desakan dari para punggawa, menitahkan agar Tun Utama berangkat hari itu juga.

Pulanglah Tun Utama ke rumah. Diceritakannyalah kepada Siti Syarifah permintaan Raja itu. Siti Syarifah terheran-heran dengan obat yang aneh itu. Dicegahnya Tun Utama berangkat, karena selain aneh, ada naluri lain terasa olehnya. Namun Tun Utama bersikeras juga hendak melaksanakan amanah.

“Jika ada ular beranak, mana tahu ada pula musang berjanggut.”

Siti Syarifah mengalah. Namun meminta Tun Utama menunda barang semalam, karena ada sesuatu yang hendak ditunjukkannya jika sangkanya benar. Dimintanya agar Tun Utama mengabarkan ke istana bahwa dia akan berangkat sore itu.

Mata-mata istana bergerak-gerak di sekitar rumah. Begitu terlihat Tun Utama keluar meninggalkan rumah, sampailah kabar ke istana bahwa memang sudah berangkat Tun Utama mencari musang berjanggut akan pengobat Raja.

Tak lama berselang, langsung tiba utusan Raja memberitahu pada Siti Syarifah, bahwa jika tak ada halangan Raja hendak bertamu ke rumah selepas isya. Siti Syarifah mengangguk dan berkata bahwa dia akan menunggu sekitar pukul sepuluh malam. Selepas utusan Raja, datang pula utusan Kadi Istana, mengabarkan bahwa Kadi hendak datang bertamu karena ada urusan penting. Siti Syarifah menyanggupi, dan memberi waktu selepas maghrib. Lalu datang lagi utusan Datuk Tumenggung, mengabarkan bahwa Datuk Tumenggung hendak bertamu. Siti Syarifah menyanggupi dan memberitahu bahwa hendaklah Datuk Tumenggung datang selepas isya. Lalu berturut-turut datang utusan Datuk Bendahara dan utusan Datuk Laksamana dengan hajat bertamu yang sama. Siti Syarifah pun berjanji menunggu dengan waktu yang diaturnya setengah sampai satu jam dari utusan terakhir.

Ketika hari senja, selepas shalat maghrib, dengan mengendap-endap Tun Utama masuk dari pintu belakang rumah mereka. Dengan jenaka Siti Syarifah menyuruhnya bersembunyi di loteng rumah. Dengan terheran-heran Tun Utama menuruti permintaan istrinya.

Ternyata Tuan Kadi Istana tak sabar menanti. Belum lagi maghrib berlalu, sudah terdengar ketukan di depan pintu. Siti Syarifah mempersilakan Tuan Kadi masuk, bahkan menyuruhnya menyembunyikan kasut di dalam rumah. Merasa sambutan begitu ramah dan hangat, Kadi Istana berbunga-bunga. Dengan sabar dia menanti Siti Syarifah yang meminta izin hendak ke dapur, akan membuat sajian untuknya. Pada kenyatannya, Siti Syarifah berpura-pura sibuk di dapur. Dipercik-perciknya air ke minyak mendidih sehingga terdengar seperti orang sedang memasak.

Perasaan berbunga-bunga Kadi Istana terusik dengan suara salam yang sudah dikenalnya di pintu rumah. Datuk Tumenggung datang bertamu. Dengan panik Kadi mencoba hendak lari bersembunyi, namun Siti Syarifah cekatan menarik tangannya dan membujuknya untuk bersembunyi di dalam peti besar berukuran lebar, yang terletak di ruangan itu. Tak pikir panjang, Kadi melompat masuk ke dalam peti, tanpa mengetahui bahwa Siti Syarifah tersenyum-senyum mengunci peti tersebut dan beranjak membuka pintu untuk Datuk Tumenggung.

Apa yang mengherankan Tuan Kadi adalah makanan lengkap di dalam peti yang berongga-rongga sehingga seisi ruang terlihat jelas jika diintipnya.

Sementara itu, Datuk Tumenggung yang sudah berbirahi dielakkan Siti Syarifah dengan trik yang sama seperti terhadap Tuan Kadi, membiarkannya berbunga-bunga menanti Siti Syarifah menyajikan masakan untuknya. Dan selepas itu, Datuk Tumenggung pun tersenyum mesum sendiri dengan khayalannya, sampai suara ketukan di pintu terdengar dengan salam yang sudah dikenalnya. Datuk Laksamana!

Gusar dan panik, Datuk Tumenggung pun berniat lari. Namun dengan sigap Siti Syarifah yang berpura-pura heran menunjukkan lemari di ruangan itu. Tak banyak pikir, masuklah Datuk Tumenggung ke dalamnya.

Demikianlah. Satu persatu dikerjai oleh Siti Syarifah. Yang paling naas adalah Datuk Laksamana. Dengan mesumnya dia bertelanjang dada selagi Syarifah di dapur. Eh, sedang asyik dia berfilosofi, “ibarat gulai di tangan, tak akan lari kemana jika bukan ke mulut juga” terhadap Siti Syarifah yang ranum di dapur sana, suara Datuk Bendahara terdengar. Gemetar ketakutan dia mencari tempat bersembunyi. Siti Syarifah, dengan menahan tawa, mengatakan tak ada tempat bersembunyi di rumah itu. Tak ada pintu lain. Namun jika Datuk Laksamana mau, bisa berpura-pura menjadi patung di sudut ruangan, di sebelah lemari. Cukuplah dengan memegang setalam buah-buahan dan berdiam diri, tak akan terlihat nyata di ruangan dengan pelita yang sudah meredup cahayanya.

Datuk Laksamana pun bertindak sesuai anjuran. Di sudut sebelah lemari, dimana Datuk Tumenggung bersembunyi, dia berpura-pura menjadi arca. Diam tak berkutik ketika Datuk Bendahara masuk ke dalam rumah.

Lalu Datuk Bendahara pun kena. Sedang mesra berkhayal, sempat terheran-heran melihat patung mirip-mirip Datuk Laksamana di sudut dekat lemari, suara Raja terdengar bertandang. Imajinasi mesumnya buyar seketika. Siti Syarifah pun menunjukkan kolong meja di dekat mereka, sebuah meja bertutup kain. Sigap Datuk Bendahara masuk ke kolong meja, mengintip Raja yang masuk dengan dituntun mesra oleh Siti Syarifah.

Tak seperti yang lainnya, Raja menolak disajikan makanan. Dengan duduk berdekatan, dicobanya merayu-rayu menantunya itu perlahan-lahan. Bercerita tentang sakitnya dan betapa dia merindu ingin bertemu Siti Syarifah.

Siti Syarifah mendengar takzim layaknya anak menantu terhadap mertua. Namun, rupa-rupanya Sang Raja sudah mulai nakal menyentuh-nyentuh lengannya. Siti Syarifah tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa dia hendak bermanja dengan Raja. Jika sudi, Raja dimintanya menjadi kuda. Raja tertawa gembira, merasa menantunya sedang memberi pertanda, dengan segera dia pun berlutut dan bergaya seperti kuda. Siti Syarifah tertawa dan meminta Raja tidak berposisi kuda seperti biasa, dengan kaki dan tangan masih di lantai, tapi hendaklah mengangkat ujung tangan dan ujung kaki sehingga cuma tersisa lutut dan siku saja sebagai kuda-kuda. Raja mengalah dengan perkiraan bahwa ini hanyalah trik Siti Syarifah untuk bermanja. Meski siku tangannya dan lututnya terasa sakit, namun ketika Syarifah sudah duduk di punggungnya, seakan-akan sedang naik kuda dengan duduk menyamping, senanglah hati Raja.

Para punggawa terhenyak di persembunyian masing-masing. Raja Negeri Parun yang disegani lawan dan dihormati kawan, menjadi kuda yang dinaiki seorang perempuan, tanpa sadar sedang ditonton oleh petinggi-petinggi istana. Oleh Datuk Bendahara yang kepanasan di kolong meja. Oleh Datuk Laksamana yang sudah pegal-pegal tangannya berpose sebagai sebuah arca. Oleh Datuk Tumenggung yang kelaparan di balik lemari. Dan oleh Tuan Kadi yang merasa paling beruntung di peti dengan makanan dan minuman tersaji.

Setelah satu kali keliling ruangan itu, Raja menyerah. Siku-siku kaki dan tangannya sakit semua. Baru saja mereka berhenti dan Syarifah hendak mengambilkan air, sebuah tangan mengacaukan segalanya. Tangan itu adalah tangan Datuk Tumenggung yang kelaparan. Dengan diam-diam Datuk Tumenggung membuka lemari. Melihat ada buah-buahan di talam yang dipegang oleh “arca tembaga mirip-mirip Datuk Laksamana”, tangannya pun menjulur. Bukan buah-buahan terpegang olehnya, namun batang hidung Datuk Laksamana. Datuk Laksamana pun berteriak kaget, dicampaknya talam buah-buahannya, terkena pelita dan padam. Datuk Tumenggung yang terkejut terbentur pintu lemari keningnya. Sementara Datuk Bendahara, melihat peluang melarikan diri, mencoba keluar lekas-lekas dari kolong meja, dan terbungkuk-bungkuk punggungnya membentur sisi meja. Panik seisi ruangan, mencoba kalang kabut melarikan diri, seketika menyadari bahwa bukan satu dari mereka ada di sana. Dalam gelap malam berdesak dan berpencar mereka, juga Raja, kabur dari pintu depan. Kasut tercampak berhambur dan hilang mereka dalam kegelapan malam.

Siti Syarifah pun menyalakan kembali pelita dan memanggil suaminya turun dari loteng. Tun Utama, dengan tawa terpingkal-pingkal mendapat tontonan gratis, turun dan memeluk istrinya. Lalu bersama mendekati peti dimana Tuan Kadi bersembunyi.

Berteriak-teriak Tuan Kadi meminta Tuan Putri Syarifah membukakan peti tersebut.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Tuan Kadi. Bukankah cukup makanan dan minuman di situ?”

Sadarlah Tuan Kadi, bahwa dirinya sudah terjebak. Tadi dikiranya dia yang paling beruntung, namun kini jelas bahwa dia yang paling sial dari antara semua. Tun Utama, dengan tersenyum-senyum bertanya, apakah mimpi soal musang berjanggut memang mimpi ataukah rekaan saja. Tuan Kadi bersumpah bahwa soal musang berjanggut memang mimpi adanya. Bukan sekali-dua datang padanya, sebagai obat kesembuhan Raja. Namun, Raja dan kemudian mereka semua, dengan pikiran masing-masing, memperalat mimpi tersebut.

Tun Utama meminta Tuan Kadi bersabar, karena esok mungkin semua ada hikmahnya.

Esoknya, sampailah kabar di istana bahwa Tun Utama sudah kembali membawa musang berjanggut. Seisi negeri kaget dan berbondong-bondong ke istana menanti musang berjanggut yang sudah ditangkap oleh Tun Utama. Di balairung istana, Raja dan segenap pembesar kerajaan -minus Tuan Kadi- sudah berkumpul. Mereka menatap tak percaya ketika sebuah peti besar dibawa dua prajurit istana, dengan Tun Utama datang menghadap mengabarkan bahwa sudah berhasil ditangkapnya musang berjanggut untuk kesembuhan Raja. Dengan beringsut mundur Tun Utama mempersilakan diperiksa isi peti tersebut, adakah benar musang berjanggut atau bukan.

Dari singgasananya, entah karena takut atau merasa bersalah, Raja menyuruh punggawanya satu demi satu memeriksa isi peti, sebelum dia nanti melihatnya sendiri.

Majulah Datuk Bendahara. Ketika dibukanya peti tersebut, terkejutlah ia melihat Tuan Kadi meringkuk di dalamnya.

“Apa yang Tuan Kadi lakukan di dalam peti ini?”

“Melihat Datuk Bendahara mengganggu istri orang. Bagaimana kabar punggung Datuk? Masih sakit membentur meja?”

Datuk Bendahara terdiam. Dia pun beringsut mundur, menutup peti dan berkata kepada Raja.

“Memang benar ini musang berjanggut, Tuanku.”

Lalu maju pula Datuk Tumenggung. Reaksinya sama kaget dengan Datuk Bendahara.

“Celakalah kita! Kenapa bisa begini, Tuan Kadi?”

Kadi Istana menjawab kecut sambil menunjuk kening Datuk Tumenggung.

“Tanyakanlah pada kening Datuk yang bengkak itu.”

Datuk Tumenggung mundur dan menunduk malu. Lalu mengangguk kepada Raja.

“Benar Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya.”

Berikutnya majulah pula Datuk Laksamana. Tak kalah pula kagetnya Datuk Laksamana melihat isi di dalam peti. Mendesis-desis ia berbisik,

“Astaga! Malang nian nasibmu, Tuan Kadi!”

Tuan Kadi tersenyum,

“Setidaknya lebih beruntung daripada menjadi patung tembaga, Datuk Laksamana.”

Datuk Laksamana terpukul mundur. Ditutupnya peti dan tegak menghadap Raja.

“Bagaimana, Laksamana?”

Datuk Laksamana menjawab,

“Tak diragukan lagi, Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya. Jenis yang suka mengganggu ayam orang.”

Merasa penasaran, Raja pun turun dari singgasana mendekati peti. Dibukanya peti dan terhenyaklah ia melihat wajah Tuan Kadi menunduk malu di dalam peti. Mendesis Raja tak percaya:

“Tak kusangka semalang ini nasibmu, Kadi!”

Kadi istana menunduk dan menjawab,

“Beruntunglah hamba tidak dijadikan kuda tua untuk ditunggangi, Tuanku.”

Raja terdiam lama di sisi peti tempat bersemayamnya Tuan Kadi. Sadarlah dia kini, bahwa ini semua adalah pembalasan dari Tun Utama dan terutama Siti Syarifah yang cerdik-jenaka. Sebuah pelajaran yang menyadarkan orang-orang tua seperti dirinya dan para punggawa istana.

Raja menutup peti tersebut, dan menepuknya tiga kali. Lalu mengumumkan bahwa benar adanya isi peti tersebut adalah musang berjanggut.

Di akhir cerita, Raja dan semua punggawa mengundurkan diri, setelah meminta maaf kepada Tun Utama dan Siti Syarifah serta berterimakasih atas cara mereka mengajar tanpa mempermalukan orang-orang tua yang khilaf tersesat nafsu. Nahkoda Terus Mata yang sempat dimintai bantuan mencari obat oleh Tun Utama pun datang, dan mengabarkan nasehat dari tabib jauh bahwa obat kesembuhan Raja cuma ada dalam dirinya sendiri.

Tun Utama diangkat menjadi Raja bersama Siti Syarifah sebagai permaisuri istana. Selain dari mereka, tak pernah ada yang tahu rupa musang berjanggut sesungguhnya, bahwa musang berjanggut itu tak lain Kadi Istana yang memang berjanggut segenggam tangan, sebagai amsal sebuah perilaku tercela dalam agama dan adat-istiadat. Peti “musang berjanggut” itu pun dinyatakan sebagai harta istana. Disimpan sebagai pelajaran. Menjadi hikayat makrifat turun-temurun.

* * *

Terlalu panjang?

Hikayat Musang Berjanggut ini adalah cerita Melayu yang terserak dalam beragam versi. Sementara versi yang kuceritakan di atas adalah versi Melayu Deli, ada versi-versi lain pula. Seperti versi yang pernah difilmkan di negeri jiran, salah satu versi terkenal dari sederet film yang pernah dibintangi oleh P. Ramlee. [Lihat sinopsisnya dalam ringkasan film-film beliau.].

Di Indonesia, adaptasi Hikayat Musang Berjanggut ke dalam film sudah pernah dilakukan juga. Film dengan judul Musang Berjanggut itu dimunculkan pada tahun 1983, dengan disutradarai oleh Piet Burnama dan dimainkan oleh sederet artis ternama di masanya, seperti: Roy Marten, Rini S. Bono, Benyamin S., Farida Pasha, Soekarno M. Noor, Rina Hasyim, Ateng dan Iskak. Versi Indonesia inilah yang merupakan adaptasi dari versi yang kuceritakan di atas, karena diambil dari versi Melayu Deli yang dikomikkan oleh Taguan Hardjo. Pernah juga dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun 2002, dengan sosok Siti Syarifah diperankan oleh Tamara Bleszynski.

Keseluruhan Hikayat Musang Berjanggut di atas itu, kuketik ulang dengan mengandalkan ingatan saja. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak meninggalkan bangku SMP, sudah lama aku tak membaca cerita itu lagi, maka harap dimaklumi jika panjang jadinya postingan ini. Jika di komiknya sendiri, ceritanya mudah dipahami karena ada gambar, maka dengan mengandalkan ingatan saja, semua gambar dan deskripsinya mesti dinarasikan dengan bentuk tulisan begini

Hikayat Musang Berjanggut ini memiliki kesan tersendiri. Bahkan rela buang waktu dari subuh kemarin hingga sepanjang malam ini untuk bikin satu postingan begini. Mungkin bisa disebut sebagai tolok ukur tersendiri untuk cenderung tidak gampang menerima urusan asmara dengan perempuan. Dari sinilah mencuat istilah yang dianggap kolega dan adik angkatan sebagai kuotasi lawasku di jaman sekolah dahulu, bahkan hingga terbawa ke bangku kuliah: Perempuan yang 1 di antara 1000.

Kalau kata teman sehaluan-sebangku-sekolahan, “Mesti ketemu yang mampu bikin jantung mendebar, baru kita bawa sirih sehampar.”

Tapi pertanyaan tentang “urusan itu” selalu memburu-buru. Rasa penasaran kolega dan keluarga bertanya (meniru nada kuis lawas Aom Kusman) “Oh oh, siapa dia?” yang akan dipersunting kelak, menjadi sebuah pertanyaan klise dan monoton. Bahkan ketika kemudian terdeteksi siapa binti siapa pernah hadir berupa-rupa.

Kondisi demikian tak selalu enak. Dekat dengan sejumlah perempuan itu selalu berujung pertanyaan demikian. Dari pertanyaan, “Kapan jadian?” sampai pernyataan “Ditunggu undangan!”. Anda yang laki-laki bisa letakkan diri di posisi macamku ini, maka Insya Allah, kata sombong, pemilih, sampai belagu bisa jadi tudingan biasa. Apalagi dari kalangan sepupu dan kolega sejawat.

Pacaran? Hubungan macam apa itu? Selepas SMU, tak pernah sekali juga ada status begitu kulekat-lekatkan pada diri sendiri. Konsep pacaran terlalu rumit dan lebih belagu daripada belagunya hidup begini. Setiap hubungan cuma ada dua pilihan: Kawan atau Kawin. No pacaran needed. Setiap hubungan, nikmati sebagai kawan. Komitmen jelaskan, tegaskan. Kalau Kawan, ya kawan. Kalau kawin ya kawin. Pacaran? Dengan ritual apel-mengapeli tanpa buah apel sama sekali, dengan telepon-menelepon, rindu-merindu, dalam skedul-skedul waktu tertentu? Bah! I don’t believe in that sh!t.

Karena, masalah yang satu itu -masalah kawan pilihan peneman hidup- seumpama memilih baju juga adanya. Jika tak cocok di badan, tak bisa dipaksakan. Terlalu kecil, badan sempit rasa tercekik seumur hidup. Terlalu lebar, bisa jadi kedodoran. Bukankah agama juga mengisyaratkan begitu adanya, bahwa dua sejoli itu adalah pakaian yang saling menutupi satu sama lain?


Apapun… Hikayat ini memang merupakan salah satu cerita terbaik dari masa kanak-kanakku dulu. Sebuah hikayat dari masa bocah, sampai jadi remaja lalu memasuki usia dewasa, yang telah mengajarkan seperti apa jadinya bikin pilihan menjadi tampak terlalu idealis™ di mata yang lain. Tentu tak luput nilai-nilai moral peradaban Melayu dahulu kala, yang dipetuahkan sebagai anak keturunan Aceh-Melayu di pesisir selatan propinsi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar