III
Fariduddin al-`Aththar
RINGKASAN MANTIQ AL-THAYR
Segenap
burung dari seluruh dunia, yang dikenal maupun tidak, suatu ketika berkumpul.
Mereka mengeluh, “Di dunia ini tak ada negeri yang tak memiliki raja. Bagaimana
kerajaan burung bisa tak memiliki raja seorang pun sampai sekarang? Keadaan ini
tak bisa kita biarkan berlangsung terus. Kita harus bersama-sama berusaha dan
pergi mencari seorang raja buat kita, karena tak adalah negeri yang
pemerintahannya baik dan teratur rapi tanpa seorang raja.”
Mereka
pun mulai bersidang untuk memecahkan persoalan itu. Burung Hudhud demikian
tertarik dan dengan penuh harapan majulah ia ke depan, mengambil tempat di
tengah-tengah sidang para burung itu. Sebuah hiasan terpampang di dadanya yang
menandakan bahwa ia telah menguasai jalan ilmu pengetahuan rohani; jambul di
kepalanya adalah mahkota kebenaran, dan ia pun telah menguasai pengetahuan baik
dan buruk.
“Saudaraku
para burung sekalian,” kata Hudhud. “Aku adalah salah seorang di antara mereka
yang telah mengecap rahmat Tuhan. Aku adalah utusan dari alam gaib. Aku
memiliki pengetahuan Ketuhanan dan rahasia makhluk-makhluk-Nya. Bila ada burung
seperti aku dengan paruh bertanda nama Tuhan, Bismillah, pantaslah
burung seperti itu kalian ikuti karena orang harus mempunyai pengetahuan yang
luas mengenai rahasia-rahasia yang gaib. Namun hari-hari bersliweran tak
putus-putusnya dan aku tak punya sangkut paut lagi dengan apa dan siapa pun.
Seluruh diriku telah diliputi oleh cinta kepada Baginda Raja. Aku bisa
mendapatkan air dengan naluriku, dan begitu banyak rahasia kehidupan lain telah
kuketahui. Aku telah bercakap-cakap dengan nabi Sulaiman, beserta
pengikut-pengikutnya yang utama. Yang mengherankan ialah biasanya dia tak
pernah bertanya dan tak pernah ingat lagi kepada siapa saja yang pernah
mengunjungi istananya, namun kepadaku sehari saja aku jauh dari sisinya
dikirimnya utusan ke mana-mana untuk mencariku, sehingga kemuliaanku tak pernah
berkurang karenanya. Akulah yang mengirimkan surat-suratnya, dan aku pulalah
sahabatnya yang paling setia. Burung yang telah dimuliakan oleh sang nabi
memperoleh anugerah mahkota di atas kepalanya. Dapatkah burung yang bisa
bercakap-cakap seperti itu rontok bulu-bulunya dalam debu? Bertahun-tahun
lamanya sudah aku menjelajahi lautan dan daratan, mengarungi puncak-puncak
gunung dan dasar lembah. Aku sanggup menerobos ruang yang sesak dilanda banjir
dahsyat. Aku senantiasa mengiringi nabi Sulaiman setiap kali bepergian dan aku
telah mengenal batas-batas dunia.”
“Aku
kenal raja itu dengan baik, tapi aku tak bisa terbang sendiri menemuinya.
Bebaslah dirimu dari rasa malu, sombong dan ingkar. Dia pasti bisa melimpahkan
cahaya bagi mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri sendiri; mereka yang
demikian itu akan bebas dari baik dan buruk karena berada di jalan kekasihnya.
Bermurah hatilah sepanjang hidupmu. Sekarang angkatlah kakimu dari bumi dan
terbanglah dengan gembira menuju istana sang raja. Namanya Simurgh. Dia adalah
raja diraja sekalian burung. Dia dekat kepada kita, namun kita jauh darinya.
Tempat semayamnya sukar sekali dicapai dan tak ada lidah yang sanggup menyebut
namanya. Di hadapan baginda bergantungan ratusan ribu benang sinar terang dan
gelap, dan di dalam dunia yang fana maupun baka tak seorang pun yang dapat
menaklukkan kerajaannya. Dialah raja yang berdaulat dan mandi kesempurnaan. Dia
tak pernah memperlihatkan seluruh dirinya, juga di tempatnya bersemayam. Karena
itu tak adalah pengetahuan atau kepandaian yang bisa mengetahuinya. Jalan itu
tiada dikenal, dan tak seorang pun memiliki kesabaran yang cukup buat
menjumpainya. Walaupun begitu ribuan makhluk senantias merindukannya selama
mereka hidup. Pun jiwa yang paling murni tak dapat menguraikannya, pikiran pun
tak dapat menggambarkan: dua alat penglihatan manusia ini buta di hadapannya.
Kearifan tak dapat mencapai kesempurnaannya dan manusia yang paham pun tak
mampu melihat keindahannya. Seluruh makhluk ingin mencapai kesempurnaan dan
keindahan ini melalui khayalannya. Tapi bagaimanakah kau bisa menjejakkan kaki
di jalan itu dengan pikiran? Bagaimana kau bisa mengukur bulan dengan ikan?
Demikianlah telah ribuan kepala bolak-balik pergi ke sana, seperti bola yang
berputar-putar di lapangan, dan hanya ratap tangis rindu mereka yang terdengar.
Beribu daratan dan lautan terbentang sepanjang perjalanan menuju tempatnya.
Jangan bayangkan perjalanan ini singkat; orang harus memiliki hati singa untuk
dapat menempuh jalan yang luar biasa ini, karena begitu panjangnya dan lautnya
rancam serta dalam pula. Kau harus berusaha sekuat tenaga, disertai senyum dan
sesekali menangislah tersedu-sedu. Seperti halnya aku, menemukan jejaknya saja
sudah merasa bahagia. Jejaknya sangat berarti, dan hidup tanpa dia akan
menyebabkan kita diliputi penyesalan. Seseorang tak boleh menyembunyikan
jiwanya dari kekasihnya, dia harus menjaga dirinya baik-baik agar jiwanya dapat
dibawa menuju istana sang raja. Bersihkan tanganmu dari kotoran hidup ini bila
kau ingin disebut orang yang beramal. Panggillah kekasihmu sebagai orang yang
mulia. Bila kau patuh dan tunduk kepadanya, dia akan memberikan seluruh
hidupnya kepadamu.”
“Dengar!
Ada lagi yang mentakjubkan. Pada mulanya Simurg terbang pada malam hari di
tengah gelap gulita di negeri Cina. Selembar bulunya jatuh di situ, hingga
seluruh dunia tercengang melihat keindahannya. Orang-orang mulai menggambar
bulunya yang indah itu, dan dari gambar bulunya itulah tersusun berbagai sistem
pemikiran, sehingga akhirnya kacau-balau karena begitu banyaknya. Bulu Simurgh
yang jatuh itu sekarang masih tersimpan di negeri itu. Itulah sebabnya hadith
nabi mengatakan: “Carilah ilmu pengetahuan sampai ke negeri Cina sekalipun.”
“Namun
demikian pemunculan Simurgh yang pertama kali itu tidaklah begitu membingungkan
dibanding Wujudnya yang rahasia. Tanda perwujudannya ini merupakan lambang
kebesarannya. Seluruh makhluk yang bernyawa di dunia ini pasti memancarkan
bayang-bayangnya. Oleh sebab dalam pemunculannya yang pertama kali tanpa ekor
maupun kepala, tanpa ujung dan pangkal, maka tak perlulah kiranya kuceritakan
lebih banyak mengenai dia. Sekarang, bersiap-siaplah kalian untuk mengarungi
Jalan menuju istananya!”
Mendengar
cerita Hudhud itu, burung-burung terpesona dan ramailah mereka membicarakan
keagungan sang raja. Dan terdorong oleh keinginannya untuk menjumpai Simurgh,
supaya kedaulatan kerajaan burung bisa ditegakkan lagi, mereka menjadi tak
sabar untuk segera menghadap Simurgh. Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi
bersama-sama, berjanji satu sama lain saling bersahabat dan melawan diri
masing-masing sebagai musuhnya. Namun ketika mereka sadar bahwa perjalanan yang
akan mereka tempuh demikian panjang dan penuh penderitaa, hati mereka pun
bimbang. Sambil mengatakan bahwa mereka tak punya maksud buruk, dengan cara
masing-masing mereka mengemukakan alasan.
Burung
Kenari berkata: “Ambillah pelajaran dari nasibku. Seluruh umat manusia
terpesona oleh warna bulu Simurgh, lalu badanku ini yang mereka kurung. Maka
penuhlah hidupku diliputi sedih dan rindu, padahal buat terbang di bawah kepak
sayap sang Simurgh saja aku pun tak sanggup!”
Burung
Merak menyahut: “Dulu aku hidup bersama Adam dan Hawa di sorga, namun akhirnya
aku terusir bersama mereka. Keinginanku ialah pulang kembali ke tempat asalku.
Sebab itulah tak ada keinginanku bertualang mencari maharaja Simurgh.”
Menyahut
pula Unggas: “Aku telah biasa hidup dalam kesucian, dan sudah terbiasa berenang
di air. Yang lain tak kurindukan lagi. Aku tak sanggup keluar dari genangan
air, dan tak bisa hidup di tempat yang kering kerontang!”
Lalu
berkata Garuda: “Aku sudah biasa hidup senang di gunung. Bagaimanakah aku akan
sanggup meninggalkan tempat semayamku yang menyenangkan?”
Kemudian
burung Gelatik menyambung: “Aku hanseekor burung mungil dan lemah. Takkan
mungkin burung sekecil aku ini sanggup mengembara sejauh itu.”
Menyahut
pula burung Elang: “Saudara-saudaraku yang tercinta, kalian sudah tahu bukan
bahwa kedudukanku tinggi sekali di sisi raja? Mana mungkin aku meninggalkan
kedudukan semulia itu?”
Seekor
burung yang lain berkata: “O Hudhud karena kau lebih mengetahui jalan menuju
temapt raja yang kau ceritakan itu, dan kau yang menginginkan kami menyertaimu,
sedang bagi kami jalan itu gelap gulita, sebaiknya kau sendirilah yang pergi.
Dalam kegelapan semacam itu, apalagi banyak sekali bahaya yang mengancam
sepanjang perjalanan, pasti kami tak bisa menyertai perjalananmu menghadap
raja.”
Mendengar
apa yang dikatakan burung-burung itu, Hudhud berkata: “Ingat, aku tak boleh
lalai menyampaikan nasihatku yang baik kepada kalian semua. Niatku suci. Apa
yang menyebabkan kalian semua mencari alasan yang bermacam-macam, apakah hanya
karena terbiasa hidup enak? Dan mengapa harus kita biarkan terlantar cita-cita
kita yang suci ini karena terikat kesenangan? Azam yang kuat dan hati yang
teguh serta sabar, akan mampu memusnahkan segala kesulitan dan menjadikan dekat
segala yang jauh.”
Mendengar
jawaban Hudhud ini bertanyalah seekor di antara burung-burung itu: “Lalu dengan
cara bagaimana dan melalui jalan apa saja agar kita sampai ke tempat yang jauh
dan sulit itu? Dan dengan perlengkapan apa pula kita bisa sampai ke istana
‘maharaja Simurgh?”
Hupu
menjawab: “Kita harus menyeberangi tujuh lembah, baru kita akan sampai di
tempat maharaja Simurgh. Tak ada yang bisa lagi kembali ke dunia bilamana telah
menempuh perjalanan yang maha jauh itu, dan mustahil pula kita bisa menyebutkan
berapa banyak rintangan yang akan kita temui. Sabarlah, bertaqwalah kepada
Tuhan, karena bila kalian telah sanggup menempuh perjalanan itu kalian akan
tetap berada dalam diri kalian buat selama-lamanya.”
“Lembah
pertama adalah Lembah Pencarian, kedua Lembah Cinta, ketiga Lembah
Pemahaman, keempat Lembah Kebebasan dan Kelepasan, kelima Lembah
Kesatuan Sejati, keenam Lembah Ketakjuban dan ketujuh Lembah
Kefakiran dan Kefanaan. Di balik itu tak ada lagi apa-apa.”
Mendengar
petunjuk yang diberikan Hudhud ini kepala burung-burung tunduk terkulai, dan
rasa pilu mulai menekan hati mereka. Sekarang mereka mengerti betapa sukarnya
perjalanan itu. Lebih-lebih bagi makhluk seperti mereka yang kecil tak berarti
bagaikan busur yang mudah patah bila ditarik terlalu kencang. Mereka diliputi
bayangan ajal yang akan mereka temui. Namun burung-burung yang lain, tanpa
mengacuhkan penderitaan yang akan mereka alami, akhirnya memutuskan untuk
segera berangkat mengarungi jalan yang mahapanjang itu.
Bertahun-tahun
lamanya mereka mengarungi gunung dan lembah, dan sebagian besar dari umur
mereka dihabiskan dalam perjalanan. Tapi bagaimana mungkin menceritakan seluruh
peristiwa dan kejadian yang mereka alami, tanpa mengikuti perjalanan mereka dan
melihat dengan mata kepala sendiri kesulitan yang dihadapi burung-burung itu?
Marilah kita ikuti perjalanan jauh mereka, dengan demikian kita mengetahui
penderitaan mereka.
Pada
akhirnya cuma sedikit dari mereka itu yang benar-benar sampai ke tempat yang
teramat mulia itu di mana Simurgh membangun mahligainya. Dari ribuan burung
yang pergi, hampir semuanya sirna dan lenyap. Banyak yang hilang di lautan;
yang lain ada yang mendapat kecelakaan di puncak gunung yang tinggi, dibunuh
rasa haus yang tak tertahankan; yang lain lagi sayapnya hangus dan hatinya
kering terbakar matahari; sedang yang lain lagi mampus diterkam harimau dan
macan tutul; yang lain lagi mati karena teramat lelah di gurun dan hutan yang buas,
bibir mereka kering pecah-pecah dan tubuh mereka ludes di telan panas. Beberapa
lagi menjadi gila dan saling membunuh satu sama lain memperebutkan butir-butir
padi atau jagung; yang lain lunglai oleh derita dan kepayahan, terkapar di
jalan, tak sanggup terbang lebih jauh lagi; yang lain kebingungan dan silau
melihat benda bermacam-macam yang memikat mata, berhenti di tempat di mana
mereka melihat benda itu, terbius; dan banyak pula yang terhenti karena godaan
kenikmatan atau keinginan buat mengecap berbagai kepuasan badaniah, sehingga
lupa pada cita-citanya semula yang luhur, yaitu menemui rajanya.
Maka
di luar ribuan burung yang sirna itu, tinggalah cuma tiga puluh ekor yang
berhasil menempuh perjalanan itu. Dan walaupun mereka sampai juga, mereka masih
bimbang, takut dan padam semangatnya, tanpa bulu dan sayap sehelai pun yang
tinggal.
Kini
mereka berdiri di muka gapura istana Simurgh yang tak terlukiskan dan tak
terpahami hakekatnya. Itulah Wujud yang tak dapat dicerna akal maupun
pengetahuan. Kemudian sinar kepuasan menyala terang di hadapan mereka, dan
ratusan kehidupan sirna dalam sekejap mata tersiram oleh cahaya-Nya. Setelah
itu mereka melihat ribuan matahari, sinarnya berbeda satu sama lain,
beribu-ribu bulan dan bintang yang indah permai, dan semua yang mereka lihat
itu membuat mereka merasa takjub dan terpesona bagaikan pusaran atom. Serentak
mereka berseru: “O, Kau yang lebih gemilang dari Surya! Matahari padam oleh
sinar-Mu dan menjelma atom, bagaimana pulakah dengan kami yang kecil ini? Jauh dan
penuh derita perjalanan yang telah kami tempuh, adakah kami akan sia-sia? Kami
telah meninggalkan diri kami dan bebas dari belenggu benda-benda dunia, akan
gagalkah kami bertemu raja kami? Betapa kecilnya kami di sini dan tak tahu
apakah kami ini ada atau tidak.”
Burung-burung
yang tak berdaya menyerupai ayam sekarat itu kemudian merasa putus asa.
Demikian lama mereka menunggu jawaban. Tiba-tiba dalam sekejap mata pintu pun
terbuka dan muncullah sang pengawal istana. Dipandangnya burung-burung itu dan
tahulah dia bahwa jumlah mereka tinggal tigapuluh ekor dari ribuan yang
bersama-sama melakukan perjalanan.
Pengawal
berkata, “Dari manakah kalian datang, o burung-burung? Apa yang kalian lakukan
di sini? Siapa saja nama kalian? Betapa sengsaranya kalian, di manakah rumah
kalian? Apa yang bisa kalian kerjakan sebagai makhluk yang lemah di tempat
ini?”
“Kami
datang kemari,” ujar mereka, “untuk menghadap raja kami Simurgh. Karena begitu
rindu dan cintanya kami kepada baginda, beginilah akhirnya kami kebingungan dan
pusing. Dulu ketika kami berangkat jumlah kami ribuan, dan kini kami hanya
tinggal tiga puluh ekor. Kami tak yakin raja kami akan memperlakukan kami penuh
penghinaan seperti ini, karena perjalanan yang kami tempuh demikian sukar dan
penuh penderitaan. Oh, tidak! Baginda harus menyambut kami dan menerima kami
dengan penuh kasih sayang!”
Pengawal
menjawab, “O, burung-burung yang kebingungan dan kesulitan, apakah kau ada atau
tidak, raja tetap ada dan abadi. Ribuan makhluk di dunia tak lebih dari semut
di depan gapuranya, apalagi kalian. Kalian kemari tak membawa sesuatu apa pun,
kecuali ratap tangis dan sedu sedan. Kembali sajalah kalian ke tempat kalian
datang, o makhluk yang hina dina!”
Mendengar
itu mereka terkulai dan heran. Sekalipun demikian, setelah berpikir sejenak,
mereka berkata lagi, “Apakah baginda akan menolak kami seraya menghina? Dan
bilamana demikian memang sikap baginda, tak mungkinkah penghinaannya berubah
jadi penghormatan? Majnun pernah berkata “Bila seluruh umat manusia di bumi ini
menyanyikan puji-pujian bagiku, aku takkan menerimanya; aku lebih suka
penghinaan Leila. Sebuah penghinaan yang diberikan Leila bagiku jauh lebih baik
dari ribuan pujian dari perempuan yang lain.”
“Cahaya
kebesarannya telah tersingkap,” ujar pengawal. “Dan semua nyawa akan hangus.
Bila roh sirna oleh ratusan dukacita, pahala apa yang akan diperoleh? Anugerah
apa yang akan kalian terima dalam sekejap ini?”
Terbakar
oleh api cinta burung-burung itu berkata, “Bagaimana laron bisa mengelak dari
nyala lilin apabila dia ingin menyatu dengan cahaya lilin? Sahabat yang kami
cari pasti membuat hati kami senang bilamana kami dikabulkan berkumpul
dengannya. Bila kami sekarang ditolak buat berjumpa, apalagi yang harus kami
lakukan? Kami laksana laron yang ingin menyatu dengan nyala lilin. Kami mohon
bukan lantaran dungu, karena tujuan kami adalah mensucikan diri, dan kami yakin
ucapan kami ini akan membuat hatinya senang serta berterima kasih karenanya.
Bukankah bagindatelah berkata, barangsiapa yang menyerahkan seluruh hatinya
pada nyala apinya, takkan ada kesulitan yang merintangi dirinya?”
Setelah
pengawal selesai menguji ketabahan mereka, kemudian pintu itu terbukalah.
Sesaat mereka menyingkir ke samping. Kemudian seratus tabir satu persatu
tersingkap di hadapan mereka dan tampaklah dunia baru di hadapan mereka. Cahaya
dari segala cahaya bersinar terang dan duduklah mereka semua seraya tunduk di
hadirat baginda yang mulia. Mereka memperoleh kalam buat mereka baca; dan
setelah mereka membaca dan merenunginya dalam-dalam, barulah mereka paham
keadaan yang sebenarnya. Hatimereka tenang dan damai, lepas dari segala
kesulitan, dan setelah itu barulah mereka menyadari bahwa Simurgh tinggal
bersama mereka. Dan kehidupan baru bersama Simurgh telah mereka kecap. Seluruh
amal dan perbuatan mereka selama ini lenyap tak berbekas. Matahari kebesaran
sang raja memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, dan tiap sinar memantulkan
wajah mereka tiga puluh ekor banyaknya (si-murgh) dari dunia luar yang telah
terserap Simurgh yang bersemayam dalam diri mereka. Mereka merasa takjub,
karena sebelumnya mereka tak menyangka bahwa mereka akan tetap sebagai diri
mereka. Akhirnya ketika mereka merenungi dalam-dalam, tahulah bahwa merekalah
Simurgh itu sendiri dan bahwa Simurgh artinya tiga puluh ekor burung. Ketika
mereka menatap Simurgh mereka lihat bahwa Simurgh benar-benar yang ada
dihadapan mereka, dan bilamana mereka mengalihkan mata mereka sendiri adalah
Simurgh. Dan bilamana keduanya saling memandang, diri mereka dan Dia, tahulah
mereka bahwa mereka dan Simurgh adalah satu dan wujud yang sama jua. Hal ini
tak pernah mereka dengar sebelumnya.
Kemudian
mereka tafakkur dan tak lama sesudah itu mereka mohon kepada Simurgh tanpa
menggunakan lidah, agar mewahyukan kepada mereka rahasia kesatuan dan kepelbagaian
wujud. Simurgh, pun tanpa mengucapkan sepatah kata, menjawab: “Matahari
kebesaranku adalah sebuah cermin. Dia yang melihat dirinya sendiri akan melihat
jiwa dan tubuhnya, dan akan melihatnya dengan sempurna. Karna kalian datang
sebanyak tigapuluh ekor, si-murgh, maka kalian akan melihat tigapuluh
ekor burung dalam cermin ini. Bila empat puluh atau lima puluh ekor yang
datang, yang akan kau lihat sama. Walaupun sekarang kalian benar-benar
mengalami perubahan, kalian lihat diri kalian sendiri tetap sebagaimana diri
kalian sebelum ini.
“Dapatkah
penglihatan seekor semut mencapai bintang Soraya yang jauh? Dan dapatkah
serangga kecil ini mengangkat tempat pijaknya? Pernah kau lihat seekor nyamuk
mengangkat seekor gajah dengan giginya? Segala yang kau ketahui, segala yang
telah kau lihat, segala yang telah kau katakan atau kau dengar – semua ini
bukan itu lagi. Bilamana kalian telah menyeberangi lembah jalan kerohanian dan
bilamana kalian telah memenuhi kewajiban dengan baik, kalian akan menjadi
seperti ini berkat tindakanku; dan kalian sanggup melihat lembah hakikat dan
kesempurnaanku. Kalian, yang jumlahnya tiga puluh ekor, takjub, tercengang dan
kagum. Tapi aku lebih dari tiga puluh ekor burung. Aku adalah hakekat yang
sesungguhnya dari Simurgh yang sebenarnya. Leburkan diri kalian dengan bangga
dan penuh sukacita ke dalam aku, dan di dalam aku kalian akan menemukan diri
kalian.”
Setelah
itu burung-burung itupun sirna buat selama-lamanya di dalam Simurgh –
bayang-bayangnya musnah ditelan sang matahari, dan khatam.
Apa
yang kau dengar semua ini atau apa yang kau lihat dan kau ketahui bukan awal
dari segala yang harus kau ketahui, dan puing-puing kehidupan di dunia ini
bukanlah tempat tinggal yang harus kau rindukan. Carilah batang pohon, dan
jangan khawatir apakah cabang-cabangnya itu ada atau tidak.
Ribuan
generasi telah lewat. Burung-burung yang baka itu telah pasrah meleburkan
dirinya dalam kefanaan. Tak seorang pun, tua atau muda, bisa menguraikan dengan
tepat apa yang disebut baka dan mati itu. Seperti bilamana segala peristiwa
jauh dari mata kita, bagaimana mungkin kita menguraikannya? Bila pembaca ingin
penjelasan lebih jauh dengan amsal-amsal mengenai kebakaan yang terjadi setelah
fana, aku akan menulis buku yang lain. Selama kita terbelenggu oleh benda-benda
dunia, kita takkan sampai ke Jalan itu. Namun bilamana dunia tak lagi
membelenggu, kau akan sampai seakan-akan memasuki dunia mimpi, dan akhirnya
akan tahu bahwa kau mendapatkan rahmat yang tak terkira. Janin insan
terpelihara dengan baik hanya oleh cinta dan kasih sayang sehingga kelak bisa
menjadi orang yang pandai dan saleh. Pengetahuan inilah yang harus dituntut
orang. Kemudian ajal datang dan segala yang kau miliki lenyap, tenggelam.
Sehabis itu kau jadi debu jalanan. Berkali-kali seseorang itu fana; tapi bila
orang berhasil mengetahui rahasia-rahasia kehidupan yang hakiki, akhirnya ia
akan menerima kebakaan, dan akan mendapatkan kehormatan dalam keadaan hina.
Tahukan kau apa yang kau miliki? Masuklah ke dalam dirimu dan bercerminlah!
Selama kau tak paham akan ketiadaanmu, dan selama kau tak menyadari kebanggaan
semu, kesombongan dan cintamu yang berlebih-lebihan pada dirimu sendiri, selama
itu pula kau takkan mencapai puncak kebakaan. Di Jalan itu kau akan terjerumus
dalam kehinaan, namun kemudian bangun penuh kehormatan.
(Abdul Hadi W. M. Sastra Sufi: Sebuah Antologi 1985)
2 Sultani = Sultan adalah perumpamaan kepada Tuhan sebagai
penguasa sekalian alam.
Unggas Sultani adalah jiwa seorang ahli makrifat yang
diliputi pengetahuan ketuhanan.
[9] Musshaf = kitab. Kufi = nama huruf
tegak dalam kaligrafi Arab, biasa ditulis dengan garis tebal.
[17] Qa’im = menegakkan salat, maksudnya
salat tahajjud. Na’im = tidur. Nafi dan isbat = penidakan dan peneguhan,
maksudnya kalimah La ilaha ill Allah. La ilaha = naïf; ill Allah =
isbat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar