HIKAYAT
MUSANG BERJANGGUT
Tertulislah
pada zaman dahulu kala sebuah kerajaan Melayu bernama Negeri Parun. Kerajaan
ini dipimpin oleh Raja Negeri Parun yang bijak dan dicintai rakyatnya. Namun,
satu-satunya yang merisaukan hati beliau adalah ketiadaan pewaris, pengganti
dirinya jika kelak turun tahta. Usia sudah menanjak tinggi, belum ada
tanda-tanda Permaisuri akan memberi mereka seorang buah hati.
Maka berembuklah Raja dengan Permaisuri, dan
bulat-sepakat bahwa mereka akan mencari anak angkat yang pantas dari kalangan
rakyat Negeri Parun. Raja pun menjelajahi negeri untuk mencari bakal putra
mahkota penggantinya kelak. Lama mencari, akhirnya Raja menemukan sosok anak
angkat itu dalam sebuah keluarga miskin di ujung negeri. Suka hatinya melihat
kanak-kanak dari keluarga melarat itu. Meski melarat, sopan mereka pada siapa
saja. Baik bimbingan keluarganya, taat beragama, sehat badannya dan tidak
gentar menantang mata Raja. Dengan izin dari kelurganya, maka diambillah dia,
putra jelata itu, sebagai Putra Mahkota. Menjadi kesayangan Raja dan
Permaisuri.
Anak itu bernama Tun Utama.
Meski tumbuh dalam keluarga kerajaan, dia tak
diizinkan lupa pada muasal dirinya. Sesekali dikunjunginya orang tuanya di
sudut negeri. Tahun-tahun berganti dan Tun Utama pun tumbuh dewasa. Seperti
biasa para pangeran dalam cerita dimana-mana jua, jadilah dia kumbang yang
diharap-harap kembang, diharap bunga-bunga untuk sudi memetik dan membawa si
bunga ke istana.
Namun itulah yang merisaukan hati Raja. Usianya
sudah menua, dan Tun Utama sudah tumbuh dewasa. Tetapi tak terlihat tanda-tanda
bahwa Sang Putra Mahkota akan berumah-tangga. Pergaulannya dengan lawan jenis
hanya sekilas mata, tak terlihat bahwa ada yang menarik di hatinya.
Bukan cuma Raja yang risau, para petinggi istana
yang berkehendak anak-anak gadisnya menjadi permaisuri Tun Utama pun sudah tak
sabar, hendak melihat siapa yang dipilih oleh Putra Mahkota di antara anak-anak
gadis mereka. Dengan pengaduan mereka pula, maka kesabaran Raja pun sampai di
titik nadir.
Dipanggillah Tun Utama ke balairung istana untuk
disidang di satu hari. Dengan duduk bersimpuh dia menghadap Raja, di
kiri-kanannya dilingkari para punggawa. Dan Raja pun, setelah berpantun
kian-kemari mencucurkan hikayat dan nasihat, mengutarakan keprihatinannya soal
jodoh Tun Utama.
Tun Utama pun sadar bahwa persidangan itu tak lain
campur tangan para punggawa juga. Maka, setelah Raja memuji-muji gadis-gadis di
lingkar istana, dia pun memberi jawaban yang membuat balairung terdiam. Jawaban
semacam ini,
“Ampun beribu ampun, Tuanku. Bukan tak ada hasrat
hati hamba untuk mempersunting seorang perempuan sebagai istri. Namun apa yang
hamba cari tak ada di sini. Hamba mencari perempuan, ada pun semua gadis-gadis
yang Tuanku sebut, di mata hamba bukanlah perempuan, melainkan betina saja
adanya.”
Masam lah muka para punggawa, merasa malu pula Raja
sebab ucapan yang dirasa menghina dari Tun Utama. Jelas-jelas Sang Putra
Mahkota menolak memperistri salah satu dari gadis-gadis putri pembesar kerajaan
langsung di balairung tersebut. Dengan menahan geramnya, Raja pun bertanya
seperti apa kriteria “perempuan” dan apa pula maksudnya dengan kata “betina”
terhadap gadis-gadis istana.
Tun Utama pun menjawab dengan ringkas,
“Seperti apa perempuan yang hamba cari, cukuplah
hamba dan hati hamba saja yang tahu, Tuanku. Namun teranglah beda antara
perempuan dan betina di mata hamba. Perempuan menjaga marwah, tapi betina
menjualnya.”
Seisi balairung riuh. Para punggawa gusar dengan
hinaan tersebut. Raja pun murka. Bangkit beliau dari tahtanya dan memberi
ultimatum: Akan diberi kesempatan dalam 1 tahun kepada Tun Utama untuk mencari
jenis perempuan yang disebutnya. Jika dalam tempo satu tahun Tun Utama tidak
menemukan perempuan tersebut dan tidak membawanya pulang ke Negeri Parun, maka
dia akan dipecat sebagai Putra Mahkota dan akan dihukum pancung.
Tun Utama menerima tantangan Raja. Dia mengundurkan
diri dari balairung dengan rasa puas pada wajah-wajah marah para punggawa.
Kejemuannya diusik oleh gadis-gadis kiriman orang tua mereka yang berhasrat
hidup mewah sebagai permaisurinya, lunaslah sudah.
Pulanglah Tun Utama ke rumah keluarganya untuk
mempersiapkan perjalanannya mencari perempuan dan bukan betina, seperti yang
sudah dijanjikannya. Ibu kandungnya, dengan bercucur air mata menyesali sikap
keras-kepalanya, membantu juga dengan memberikannya sekantung beras khusus
untuk dibawa serta dalam perjalanannya, dan mengajarkan bagaimana cara membuat
beras siap masak yang serupa.
Beras dalam kantung pemberian ibunya, beserta teknik
pembuatannya itu, akan menjadi salah satu penguji perempuan sejati menurut Tun
Utama. Beras demikian bukan beras biasa. Meski pun berasnya sama belaka dengan
yang dimakan rakyat biasa, dalam kantung beras tersebut, segala bumbu, kacang,
lauk-pauk, yang semuanya mentah, sudah bercampur-aduk. Sekilas melihat, orang
dapur akan mengira beras tersebut sudah rusak, sudah terguncang dalam
perjalanan sehingga sukar untuk dimasak.
Dalam perjalanannya, Tun Utama menjelajahi negeri
tanpa membuka identitas dirinya. Ada beberapa kali dia bertemu rumah berisi
anak gadis, yang dipintanya dengan sopan pada ahli keluarga untuk menginap.
Alasannya sebagai musafir dan keramahan orang Melayu pada perantau asing,
memudahkannya untuk menguji pencariannya. Setiap dia menginap, dengan sopan dia
selalu menolak disajikan makanan orang rumah. Dengan beralasan sedang melakukan
perjalanan nazar, maka disodorkannya beras kaul yang aneh tersebut. Setiap
masakan tersaji, maka Tun Utama pun -dengan pura-pura sekedar bertanya- akan
memancing pemberitahuan siapakah yang memasaknya.
Hingga lepas dari Negeri Parun, tak ada yang
berkenan di hatinya, dan tak ada pula yng bisa memasak beras tersebut. Rumah
pertama yang disinggahinya, yang berisikan satu anak gadis di dalamnya, dengan
semena-mena membuang beras itu dan menggantinya dengan beras biasa. Lepas
subuh, Tun Utama pun pamit dengan dipandang kecewa oleh si anak gadis dari
jendela.
Rumah berikut yang disinggahinya di ujung negeri,
dengan semena-mena pula anak gadisnya menunggingkan isi beras begitu saja untuk
dimasak. Usai suapan pertama, Tun Utama langsung menyudahi makannya. Rasa-rasa
berhimpit tenggorokannya dengan makanan tak bertakar serupa itu, makanan yang
dimasak dengan kasar, sementah-mentah bawaan bekal.
Bulan-bulan berlalu, beras bekal ibunya sudah lama
berganti dengan olahannya sendiri. Masih juga tak ditemukannya apa yang dicari.
Hingga sampailah Tun Utama di pelabuhan ujung negeri lain. Hasrat hatinya
hendak menyeberang laut, untuk mencari perempuan yang diimpikan. Namun tak ada
kapal yang berani berlayar, sebab ombak sedang besar di lautan. Bekal
keuangannya pun sudah menipis. Ada satu kapal disebut-sebut, namun tak
sembarang orang bisa menumpang di kapal itu. Namanya Kapal Terus Mata
Di sana, di sebuah warung, bertemulah dia dengan Nahkoda
Terus Mata. Nahkoda Terus Mata ini bawaannya kasar. Kalau bicara suaranya
menggelegar. Anak buahnya ramai, dan wibawanya seperti kepala perompak yang
disegani. Awal perkenalan mereka sendiri menegangkan. Tun Utama memasuki warung
dan dengan tak merasa bersalah, menarik kursi kosong. Kursi kosong itu
merupakan sebelumnya diduduki Sang Nahkoda yang sedang mabuk tuak, yang
menari-nari di dekatnya. Jatuh terduduklah Sang Nahkoda di lantai karena
mengira kursinya masih di tempat yang sama.
“Siapa monyetnya yang berani mengambil kursiku?!!”
Seisi warung hening memandang Tun Utama, seakan
prihatin melihat calon mayat yang masih muda belia. Namun Tun Utama dengan
cerdas dan tenang menjawab bahwa jika Sang Nahkoda masih duduk di kursi, tentu
tak akan berpindah sendiri kursi tersebut. Kursi kosong adalah kursi tak
berpenghuni, dan di warung sesiapa saja boleh duduk di kursi tak berpenghuni.
Nahkoda Terus Mata terpikat hatinya pada tutur dan
keberanian Tun Utama tegak di depannya. Meski dia berkata, “Monyet kecil ini
banyak bicara!” namun tak juga dikepalkan tinjunya. Diamat-amatinya sosok Tun
Utama, yang dinilainya sebagai wajah terpelajar yang tak pantas berada di situ.
Dia pun bertanya darimana dan hendak kemana rupanya Tun Utama.
Tun Utama pun mengutarakan keinginannya untuk
berlayar ke negeri seberang. Namun karena bekalnya sudah sedikit, dia mohon
dizinkan menumpang sambil bekerja di kapal Terus Mata. Nahkoda Terus Mata
tertawa terpingkal-pingkal. Badan Tun Utama memang sehat, namun baginya tak
cukup kuat untuk bekerja di kapalnya, Kapal Terus Mata yang tersohor di Selat
Malaka. Namun, diberi juga izin olehnya dengan ejekan seumpama Tun Utama tak
kuat, boleh dia menyerah melompat ke dasar laut.
Berlayarlah Tun Utama dengan kapal Terus Mata. Dalam
perjalanan, lamban-laun makin simpati Sang Nahkoda pada Tun Utama. Kedekatan
mereka berdua membuka rahasia tujuan Tun Utama yang membuatnya terheran-heran.
Sebuah perjalanan mencari perempuan dan bukan betina yang tak masuk di akalnya.
Bagi Nahkoda, semua perempuan adalah betina belaka, hanya berguna dipelihara
untuk beranak dan memasak. Lain tidak. Namun, tak disembunyikan rasa kagumnya
pada keras tekad Tun Utama hendak mencari perempuan yang diimpikan.
Pelayaran pun singgah di satu pelabuhan yang jauh.
Negeri Pasir [jika aku tak salah ingat]. Pelabuhan itu kering dan sepi. Tak
banyak kapal yang singgah. Tun Utama mencoba peruntungan terakhirnya dengan
melompat turun dari kapal. Setahun hampir menjelang tiba. Jika tak juga di
negeri itu dia bertemu apa yang dicari, akan ditunggunya kapal untuk kembali ke
Negeri Parun, menerima hukuman yang sudah dijanjikan.
Dari pelabuhan, Tun Utama berjalan kaki memasuki
pedalaman. Seharian berjalan, berkelok-kelok, dia pun berpapasan dengan seorang
petani menjelang hari senja. Si Petani melihat Tun Utama termangu-mangu di
persimpangan jalan. Terjadilah dialog yang masih segar kuingat-ingat begini:
“Anak ini darimana hendak kemana?”
“Hendak mencari rumah tak berdapur. Ada rumah tak
berdapur di sekitar sini, Bapak?”
Bingung Si Petani dengan jawaban serupa itu.
“Rumah tak berdapur? Daripada mencari rumah tak
berdapur, bukankah lebih bagus rumah berdapur?”
Tun Utama pun menyambut baik tawaran Si Petani untuk
menginap di rumah beliau. Perjalanan ke rumah petani menjelang senja itu
menghadirkan keheranan lain pada Si Petani. Sementara beliau membuka kasut saat
memasuki lumpur, Tun Utama tak melepas kasutnya. Ketika melewati sebuah
jembatan kecil, Tun Utama menyebut “Titian kera”. Saat melintas jalanan kecil
setapak, disebut Tun Utama “jalan kelinci berlari”. Dan ketika melewati pohonan
dimana kelelawar melintas-lintas, beliau terheran-heran melihat Tun Utama
membuka payung meski hari tak hujan. Namun Si Petani tak bertanya apa-apa.
Disimpannya semua pertanyaan di dalam dadanya.
Sampailah mereka di sebuah rumah di ujung desa.
Rumah itu cukup luas namun terlihat lengang. Si Petani mempersilakan masuk,
menyuruhnya mandi dan bersiap untuk shalat maghrib, sambil memberitahu bahwa di
rumah itu cuma ada mereka bertiga: dirinya sendiri, istri dan anak gadisnya.
Pada malam hari selepas maghrib, seperti biasa Tun
Utama pun menyodorkan “beras rusak” yang dibawanya itu dengan alasan nazar
dalam perjalanan, kepada Si Petani. Seperti biasa adat Melayu zaman, dimana
anak gadis tak bisa menampakkan diri pada tamu non-muhrim, maka yang ada cuma
dia dan suami-istri pemilik rumah. Istri petani dengan terheran-heran membawa
beras ke dapur, dimana seorang gadis bersiap menyajikan masakan. Sajiannya
tertunda dengan “beras rusak” yang dibawa ibunya. Dengan heran dan penasaran
dia bertanya-tanya siapa tamu yang dibawa ayahnya itu. Sebab, Si Petani rupanya
bukan orang yang suka membawa orang asing ke rumah, jika tidak berkenan di
hatinya. Mendengar gelak-tawa Tun Utama dan ayahnya dari ruang depan, kentaralah
bahwa ada yang mengena di antara mereka.
Sementara ibunya menyuruh mengganti beras tersebut,
Si Gadis menolak dan tersenyum-senyum melihatnya. Dia pun mengambil alat-alat
masak, memisahkan bumbu yang bercampur-aduk dan mengolah kembali isi “beras
rusak” tersebut agar bisa disajikan sebagai makan malam.
Ketika hidangan tersaji di depan Tun Utama dan Si
Petani, terlihat tidak ada yang istimewa. Si Petani yang mengira isi beras
berbeda dengan yang biasa mereka makan, menjadi heran meskipun diam saja
melihat sajian “beras kaul” itu tak berbeda dengan apa yang tersaji untuknya.
Tun Utama sendiri, setelah suapan pertama, tercenung
dengan penasaran. Masakan yang dimakannya membawanya serasa kembali ke Negeri
Parun. Tak jauh beda dengan masakan ibunya. Kentara bahwa “beras rusak”
tersebut sudah dimasak dengan semestinya.
Dengan gaya biasa, seakan sepintas lalu, Tun Utama
pun memuji masakan istri Si Petani. Namun Si Petani dan istrinya menjawab bahwa
masakan itu adalah masakan anak gadis mereka yang di dapur. Tun Utama kini
menjadi penasaran. Ketika makan malam selesai, lepas sembahyang isya, saat
rebahan di kamar tamu yang disediakan, ia menjadi bertanya-tanya seperti apa
anak gadis Si Petani itu. Hingga terdengar olehnya mereka bercakap-cakap di
ruang tak jauh dari kamarnya. Membicarakan dirinya.
Si Petani mengisahkan anehnya pemuda yang satu itu.
Keheranannya dalam perjalanan pulang menjelang senja dituturkan kepada anak dan
istrinya. Mulai dari pertanyaan tentang “rumah tak berdapur”, sebutan “titian
kera” saat melintas jembatan serta “jalan kelinci berlari”. Juga keheranannya
karena Tun Utama tak membuka kasut saat memasuki lumpur, serta berpayung saat
hujan tak turun.
Anak gadisnya tertawa kecil dan balik menyalahkan
ayahnya dengan menerangkan satu per satu maksud dari ucapan dan perilaku tamu
ayahnya itu. Bahwa disebut “titian kera” dan “jalan kelinci berlari” adalah
perumpamaan semata, karena jembatan kecil itu memang lincah dilewati kera,
sementara jalanan setapak yang sempit memang seukuran tubuh kelinci meloloskan
diri. Sementara alasan kenapa kasut tak dilepas adalah karena khawatir ada
beling atau onak duri di dalam lumpur, berbeda dengan ayahnya yang sudah
terbiasa melewati jalanan yang sama, orang luar tentu mesti berhati-hati.
Si Petani masih terheran-heran.
“Dan apa pula yang dimaksudnya dengan rumah tak
berdapur itu? Mana ada rumah yang tak berdapur?”
Anak gadisnya mengerling riang.
“Semua rumah tentu berdapur, ayahanda. Rumah tak
berdapur adalah mushala atau mesjid adanya. Tentulah dia hendak menumpang inap
di sana.”
Si Petani tertawa faham, lalu kembali bertanya,
“Lantas apa pula maksudnya berpayung saat tak
hujan?”
Anak gadisnya tertawa jenaka. Diterangkannya bahwa
guna berpayung demikian adalah untuk menjaga agar kepala tak kena kotoran burung
atau kelelawar yang melintas-lintas. Tergelaklah Si Petani dan istrinya,
sementara Tun Utama takjub mendengar penjelasan anak gadis itu. Dan tersentak
menciut ketika suara anak gadis itu terdengar kembali, seperti sengaja
dikeraskan.
“Hanya beras rusak itu saja yang aneh. Sekilas rusak
berguncang, tapi sepertinya sengaja dibuat untuk menguji-uji orang dapur.”
Ketika pagi berlalu, selepas shalat subuh, Tun Utama
memutar pikiran mencari alasan agar bisa tinggal sedikit lama di rumah
tersebut, untuk menuntaskan rasa penasarannya. Saat pagi tiba, dia bermangu di
pinggir sungai dan memandangi takjub kincir air yang belum pernah dijumpainya
dalam perjalanannya. Penasaran hendak melintas air sungai, dilompatinya
bebatuan, hingga sebuah suara terdengar mengejutkannya. Suara yang berseru,
“Hati-hati, Tuan… nanti…”
Terlambat. Tun Utama tercebur menginjak batu licin.
Terkilir kakinya dan susah payah berenang ke pinggir sungai, dan ditarik ke
darat oleh pemilik suara yang mengagetkannya itu. Seorang anak gadis rupawan
yang baru pulang mencuci kain. Si Gadis meminta maaf karena mengagetkannya,
namun Tun Utama tak mempermasalahkan soal itu. Apa yang membuat hatinya kaget
adalah pengakuan bahwa gadis itu adalah anak dari Si Petani dimana dia
menumpang.
Namanya, Siti Syarifah.
Dengan dipapah oleh Syarifah, pulanglah mereka ke
rumah. Berpapasan dengan Si Petani yang di hari itu cepat pulag dari sawahnya.
Kaget Si Petani melihat anaknya memapah pemuda asing yang menjadi tamunya,
namun selepas dilihatnya kaki Tun Utama terkilir, dimintalah maaf olehnya
dengan rasa tak enak hati karena tamu tercedera di rumahnya sendiri. Dipintanya
Tun Utama bertahan sedikit lama sampai sembuh, sebelum melanjutkan
perjalanannya kembali.
Tun Utama diam-diam girang bukan kepalang. Hari demi
hari berlalu dalam masa penyembuhan kakinya. Dia pun sesekali berkomunikasi
dengan Syarifah. Terkadang dari jendela dipandanginya anak gadis rupawan yang
cerdas itu. Hingga saat kakinya sembuh, dia pun mengutarakan keinginan untuk
berangkat pada Si Petani.
Di lapak makan malam, di bentangan tikar, suasananya
tergambar sepi. Suami istri Petani yang sudah suka dengannya, tampak sedih.
Demikian pula dengan Tun Utama. Ketika makan malam usai, Tun Utama beringsut
menghadap Si Petani. Mengutarakan sekali lagi bahwa dia akan pergi dari negeri
tersebut, namun dengan membawa serta Syarifah sebagai istri. Jika segenggam mas
kawin untuk Syarifah tidak berarti apa-apa, dia akan tetap pamit juga, dengan
membawa dirinya sendiri.
Sementara Si Gadis yang sudah jatuh cinta menangis
di kamarnya, di rangkulan ibunya, mata Si Petani berkaca-kaca. Mendapatkan
menantu memang sudah lama diidamkannya, namun anak gadisnya terlalu keras
kepala. Dan kini Si Gadis sudah dipinta oleh orang muda yang mereka suka. Tak
menjadi masalah baginya, namun tentu putusan ada pada Syarifah jua.
Ketika Si Petani pamit untuk bertanya, istrinya
mencegat di depan pintu kamar Si Gadis. Menggeleng pertanda tak perlu bertanya
apa-apa lagi. “Tunggu apa lagi? Terima saja! Anak kita sudah setuju!”
Pernikahan pun dilangsungkan. Ternyata Si Petani
adalah mantan pimpinan laskar kerajaan negeri itu dahulunya. Besar namanya maka
meriahlah pesta. Undangan datang dari mana-mana. Sementara kerahasiaan
identitas Tun Utama pun kemudian dibuka hanya pada istri dan mertuanya saja.
Ternyata curiga-mencurigai sudah lama ada di antara mereka. Sejak senja dia
tiba di rumah tersebut hingga beras penguji orang dapur. Syarifah tak merasa
heran dengan status pangeran Tun Utama, sudah lama dia curiga pemuda itu bukan
pemuda bisa. Lagi pula, jia pun bukan itu adanya, dia sudah terpikat sejak
“beras rusak” ditumpahkan untuk disukat.
Sementara Tun Utama mengakui bahwa jatuh ke sungai
lalu terkilir adalah sakit. Tapi jatuh hati di hari itu adalah pengobatnya.
Jadi, penyesalan Syarifah di hari itu tak jadi masalah. Karena siapa yang jatuh
siapa yang menjatuhkan? Hati mereka juga jadinya.
*aww… cuiit… cuiit!*
Setelah beberapa lama Tun Utama memperpanjang masa
tinggalnya dengan keluarga barunya, bersiap-siaplah dia kembali ke Negeri
Parun. Dengan izin dari ibu dan bapak Siti Syarifah, keluarlah mereka
sekeluarga dari negeri itu menuju pelabuhan.
Pernikahannya dengan Siti Syarifah yang cantik
rupawan, ternyata sudah mengundang dengki seorang pemuda negeri tersebut. Anak
orang kaya bangsawan yang sudah berkali ditolak oleh Syarifah lamarannya. Si
Jambat, namanya. Sudah berbini dua masih hendak menambah Syarifah jauh sebelum
Tun Utama tiba. Maka alangkah kesal hatinya, orang asing mencuri gadis
idamannya. Kepergian Tun Utama dan Siti Syarifah pun diikutinya dengan membawa
beberapa tukang pukulnya. Didahuluinya Tun Utama, memotong jalan ke arah
pelabuhan, untuk merembukkan rencana. Di sana, bertemulah Si Jambat dengan
Nahkoda Terus Mata yang sedang singgah. Dengan segera dia membayar dan naik
untuk ikut kapal menuju pelabuhan lain dimana dia akan menanti Tun Utama dan
Syarifah. Tun Utama dan Siti Syarifah pun bertemu kembali dengan Nahkoda Terus
Mata.
“Coba kulihat! Bukankah ini monyetku yang cerdas,
Tun Utama?” teriak Nahkoda Terus Mata.
Tun Utama mencari asal suara yang sudah dikenalnya.
Melihat bekas induk semangnya, dengan takzim disalaminya juragan kapal yang
kasar tapi baik hati itu. Nahkoda Terus Mata pun bertanya dengan kalimat
kasarnya, apakah Tun Utama sudah mendapatkan perempuan yang dicari ataukah
betina seperti kebanyakan. Tun Utama mengangguk dan memperkenalkan mertuanya
serta istrinya kepada Nahkoda Terus Mata. Sang Nahkoda dengan cengiran kasar
hanya sekedar saja menyalami ibu dan bapak Syarifah. Namun sikap kasarnya menguap
seketika berhadapan dengan Siti Syarifah. Dengan kikuk disalaminya istri Tun
Utama tersebut.
Ketika kapal mengangkat sauh, dan anak-beranak sudah
melepas pelukan, Nahkoda Terus Mata mendekati Tun Utama dan berucap pelan,
“Jangan kau hiraukan ucapanku soal perempuan itu.
Ucapanku itu cuma berlaku bagi perempuan kebanyakan. Tapi istrimu itu, jenis
satu dalam seribu. Wajib kau jaga selama hidupmu.”
Tun Utama tergelak. Di balik perangai kasarnya,
Nahkoda Terus Mata memiliki kejujuran yang sangat langka. Maka diceritakanlah
olehnya bagaimana dia bertemu dengan Syarifah. Perkenalan yang dimesrakan oleh
peristiwa jatuh di sungai, ketika dia tercebur basah dan ditolong oleh
Syarifah; yang diolok-olok Nahkoda dengan pertanyaan jenaka, “Siapakah yang
tertangguk di sungai itu? Ikan di dalam sungai ataukah penangguknya?”
Dalam perjalanan itu, makin kagumlah Nahkoda pada
pilihan Tun Utama. Syarifah tak segan bersama suaminya belajar mengemudi kapal.
Sekali waktu Nahkoda Terus Mata bertanya, “Beratkah rasanya, Puan Syarifah?”
Siti Syarifah mengangguk tertawa di balik roda kemudi. “Rasakanlah beratnya
kemudi kapal itu, Puan Syarifah. Tapi seberat-berat kemudi kapal Terus Mata,
bagiku lebih berat mengemudi bahtera rumah tangga. Kalau itu aku jelas
menyerah!” gelak Nahkoda Terus Mata.
Jawaban Syarifah yang lincah membuat Nahkoda Terus
Mata tertawa kagum, ketika Syarifah menganalogikan bahwa seperti kapal yang
berjalan karena kerjasama awaknya, dengan nahkoda, awak kapal, dan mualim, maka
seperti itu pula bahtera rumah tangga bisa dikemudikan.
“Istrimu itu benar-benar jenis yang harus kau
lindungi dengan nyawamu. Kalau tidak, berdosa besar engkau!”
Demikian desis Nahkoda Terus Mata pada Tun Utama
yang berjanji akan menjalankan amanah Nahkoda tersebut.
Perjalanan pun akhirnya tiba di pelabuhan ujung
Negeri Parun. Dari sana, Tun Utama memutuskan untuk berkuda berdua saja dengan
Siti Syarifah, karena menunggu kapal langsung ke Negeri Parun akan memakan
waktu lama. Mereka pun berpisah dengan janji akan bertemu kembali.
Sementara itu, Nahkoda Terus Mata mengajak
tamu-tamunya yang menumpang kapalnya, rombongan Si Jambat, untuk
bersenang-senang sebentar di warung di pelabuhan. Namun Si Jambat menolak halus
dan berkata ada urusan seronok hendak diselesaikan di daratan. Mereka pun
berpisah dengan sorot mata heran Nahkoda Terus Mata.
Tujuan Si Jambat pun tercapai sudah. Di satu jalan
sepi pada malam esoknya, dapat juga dikejarnya Tun Utama dan Siti Syarifah.
Dengan tukang pukulnya mengeroyok Tun Utama, dikejarnya Siti Syarifah -yang
disuruh lari dengan kuda oleh Tun Utama. Siti Syarifah tertangkap, dan dengan
segera dibawanya ke satu warung di pelabuhan ketika hari sudah beranjak larut
malam. Dalam tawa cekikik wanita-wanita penghibur, dia disambut oleh
kenalan-kenalannya di sana.
“Barang baru itu, Jambat?”
Jambat tergelak-gelak merangkul Syarifah yang
berikat tali.
“Barang baru. Masih ganas, perlu dijinakkan!”
Demikian kata Si Jambat, dan menyuruh anak buahnya
mengamankan Syarifah ke pojok warung dimana teman-teman kenalannya sedang
bersuka.
Lalu satu suara menggelegar bertanya,
“Boleh kulihat barang barumu itu, Jambat?”
Tercekat hati Si Jambat. Suara menggelegar itu tak
lain adalah suara Nahkoda Terus Mata. Dengan segan, Si Jambat pun mempersilakan
Nahkoda Terus Mata mendekati Siti Syarifah.
Sang Nahkoda menatap lekat Siti Syarifah yang air
matanya mencucur basah meski tak ada isak tangis terdengar. Dengan tenang
dirapikannya rambut Syarifah yang berantakan, disekanya air mata perempuan yang
dihormatinya itu, dan dirapikan kerudungnya yang terkulai di tengkuk. Dalam
penerangan lampu warung dia berpaling ke seisi ruangan, memperlihatkan wajah
Siti Syarifah.
“Perhatikanlah, Kawan-kawan. Perempuan seperti ini
hanyalah satu di antara seribu. Tak akan mudah kau temui dimana pun juga.”
Lalu dengan geram ia berpaling kepada Si Jambat,
“Jadi ini urusan seronok yang kau katakan itu,
Jambat?”
Si Jambat baru hendak menjawab, namun tinju Nahkoda
Terus Mata sudah mematahkan batang hidungnya. Dengan marah Si Jambat mencabut
goloknya, diikuti oleh teman-temannya, dan berteriak mengatakan betapa Nahkoda
Terus Mata rupa-rupanya belum kenal siapa dia.
Nahkoda Terus Mata tertawa sinis. Dengan satu
gerakan tangan memberi isyarat, terdengarlah bunyi senjata tajam dicabut dari
seisi ruangan. Jumlah pengikut Nahkoda Terus Mata rupanya jauh lebih banyak
dari gerombolan Si Jambat. Nahkoda Terus Mata pun memberi ultimatum: Jika Si
Jambat tak memberi tahu dimana Tun Utama, isi benaknya akan dihamburkan di situ
juga.
Sadar kalah dukungan, Si Jambat pun melarikan diri.
Nahkoda Terus Mata melepas Syarifah dan bertanya kabar Tun Utama, lalu
menitipkan Syarifah pada beberapa anak buahnya dan memutuskan untuk membagi dua
rombongan. Satu mencari Si Jambat dan satunya mencari Tun Utama.
Pencarian Tun Utama pun sukses dilakukan. Di jalan
lengang menuju ke arah lokasi penghadangan Tun Utama, bertemulah mereka. Tun
Utama rupa-rupanya sudah menewaskan para pengeroyoknya, meski badannya sendiri
luka-luka, dan mengambil kuda salah satu dari mereka untuk mengejar Si Jambat.
Heran Nahkoda Terus Mata, dengan apa Tun Utama melawan, sementara dia tak
bersenjata. Ternyata payung yang selalu dibawa Tun Utama, jika ditarik di
gagangnya, akan mengeluarkan sebilah pedang tipis yang tajam.
Setelah Tun Utama bertemu dengan istri, Nahkoda pun
memutuskan bahwa mereka mesti segera berangkat, langsung ke Negeri Parun.
Penolakan Tun Utama dengan kekhawatiran urusan barang niaga di kapalnya akan
terlantar, ditampiknya mentah-mentah. Dia bersikeras untuk mengantar mereka
sendiri sampai selamat ke Negeri Parun.
Dalam perjalanan berlayar, di saat Tun Utama jatuh
sakit di kapal, barulah Nahkoda Terus Mata tahu bahwa bekas anak buahnya itu
adalah putra mahkota Kerajaan Negeri Parun.
Singkatnya, kepulangan mereka pun disambut gembira.
Raja dan Permaisuri yang sudah lama menanti, sudah gelisah karena tahun akan
berganti, berseri-seri menyambut Tun Utama dan Siti Syarifah. Di balairung
istana, saat Tun Utama mengenalkan istrinya, seluruh mata terpesona. Meski tak
paham seperti apa perempuan dan bukan betina yang dimaksudkan Tun Utama, namun
mereka paham bahwa Siti Syarifah memang terlihat berbeda dengan gadis-gadis
istana. Pesta pun digelar dan seisi negeri diundang bersuka.
Ketika hari-hari berlalu, makin terlihat sosok
Syarifah yang menarik hati. Anak-anak suka bermain di dekatnya, mendengarnya
bercerita. Rakyat pun suka dengan calon permaisuri di masa depan yang ramah
pada mereka. Istri Tun Utama menjadi buah bibir, dari desa hingga ke istana.
Semua orang jatuh cinta padanya. Sekedar mengagumi atau memang jatuh cinta,
seperti yang dirasakan oleh beberapa punggawa istana yang mencoba meraih
simpati Siti Syarifah, dan bahkan… Raja.
Di sinilah skandal istana bermula.
Raja yang dilamun asmara, kemudian merasa badannya
tak sehat. Sudah beberapa tabib diundang untuk mengobatkan, tapi tak juga
beliau merasa badannya sehat kembali. Hingga satu hari Tuan Kadi, jabatan salah
satu punggawa yang berurusan dengan soal perkawinan, mengabarkan kepada Raja
sebuah mimpinya: Obat kesembuhan Raja adalah seekor musang berjanggut.
Namun dimana akan dicari musang berjanggut?
Semua orang tertawa mendengarnya, meski Tuan Kadi
Istana serius bercerita. Mencari seekor musang berjanggut adalah seperti
mencari kuda bertanduk. Bisa habis usia baru bertemu.
Namun mimpi tersebut rupa-rupanya mendatangkan akal
bagi mereka. Semua seperti berpikiran serupa: Inilah saat memisahkan Tun Utama
dan Siti Syarifah, sehingga bisalah salah satu dari mereka merayu-cumbu Siti
Syarifah barang semalam saja, hendak pula bisa selama-lamanya. Tentu saja
pikiran demikian cuma tersimpan dalam hati masing-masing punggawa istana dan
juga Raja.
Maka dipanggil lah Tun Utama menghadap. Dengan
menyinggung tekadnya yang keras karena telah berhasil membawa pulang perempuan
yang bukan betina, diharapkanlah kesediaannya untuk mencari pula musang
berjanggut, demi kesembuhan Raja. Tun Utama, meski terheran-heran, menyanggupi
perintah Raja, bahkan ketika hukuman pancung jika gagal diancamkan kepadanya.
Raja, dengan desakan dari para punggawa, menitahkan agar Tun Utama berangkat
hari itu juga.
Pulanglah Tun Utama ke rumah. Diceritakannyalah
kepada Siti Syarifah permintaan Raja itu. Siti Syarifah terheran-heran dengan
obat yang aneh itu. Dicegahnya Tun Utama berangkat, karena selain aneh, ada
naluri lain terasa olehnya. Namun Tun Utama bersikeras juga hendak melaksanakan
amanah.
“Jika ada ular beranak, mana tahu ada pula musang
berjanggut.”
Siti Syarifah mengalah. Namun meminta Tun Utama
menunda barang semalam, karena ada sesuatu yang hendak ditunjukkannya jika
sangkanya benar. Dimintanya agar Tun Utama mengabarkan ke istana bahwa dia akan
berangkat sore itu.
Mata-mata istana bergerak-gerak di sekitar rumah.
Begitu terlihat Tun Utama keluar meninggalkan rumah, sampailah kabar ke istana
bahwa memang sudah berangkat Tun Utama mencari musang berjanggut akan pengobat
Raja.
Tak lama berselang, langsung tiba utusan Raja
memberitahu pada Siti Syarifah, bahwa jika tak ada halangan Raja hendak bertamu
ke rumah selepas isya. Siti Syarifah mengangguk dan berkata bahwa dia akan
menunggu sekitar pukul sepuluh malam. Selepas utusan Raja, datang pula utusan
Kadi Istana, mengabarkan bahwa Kadi hendak datang bertamu karena ada urusan
penting. Siti Syarifah menyanggupi, dan memberi waktu selepas maghrib. Lalu
datang lagi utusan Datuk Tumenggung, mengabarkan bahwa Datuk Tumenggung hendak
bertamu. Siti Syarifah menyanggupi dan memberitahu bahwa hendaklah Datuk
Tumenggung datang selepas isya. Lalu berturut-turut datang utusan Datuk
Bendahara dan utusan Datuk Laksamana dengan hajat bertamu yang sama. Siti
Syarifah pun berjanji menunggu dengan waktu yang diaturnya setengah sampai satu
jam dari utusan terakhir.
Ketika hari senja, selepas shalat maghrib, dengan
mengendap-endap Tun Utama masuk dari pintu belakang rumah mereka. Dengan jenaka
Siti Syarifah menyuruhnya bersembunyi di loteng rumah. Dengan terheran-heran
Tun Utama menuruti permintaan istrinya.
Ternyata Tuan Kadi Istana tak sabar menanti. Belum
lagi maghrib berlalu, sudah terdengar ketukan di depan pintu. Siti Syarifah
mempersilakan Tuan Kadi masuk, bahkan menyuruhnya menyembunyikan kasut di dalam
rumah. Merasa sambutan begitu ramah dan hangat, Kadi Istana berbunga-bunga.
Dengan sabar dia menanti Siti Syarifah yang meminta izin hendak ke dapur, akan
membuat sajian untuknya. Pada kenyatannya, Siti Syarifah berpura-pura sibuk di
dapur. Dipercik-perciknya air ke minyak mendidih sehingga terdengar seperti
orang sedang memasak.
Perasaan berbunga-bunga Kadi Istana terusik dengan
suara salam yang sudah dikenalnya di pintu rumah. Datuk Tumenggung datang
bertamu. Dengan panik Kadi mencoba hendak lari bersembunyi, namun Siti Syarifah
cekatan menarik tangannya dan membujuknya untuk bersembunyi di dalam peti besar
berukuran lebar, yang terletak di ruangan itu. Tak pikir panjang, Kadi melompat
masuk ke dalam peti, tanpa mengetahui bahwa Siti Syarifah tersenyum-senyum
mengunci peti tersebut dan beranjak membuka pintu untuk Datuk Tumenggung.
Apa yang mengherankan Tuan Kadi adalah makanan
lengkap di dalam peti yang berongga-rongga sehingga seisi ruang terlihat jelas
jika diintipnya.
Sementara itu, Datuk Tumenggung yang sudah berbirahi
dielakkan Siti Syarifah dengan trik yang sama seperti terhadap Tuan Kadi,
membiarkannya berbunga-bunga menanti Siti Syarifah menyajikan masakan untuknya.
Dan selepas itu, Datuk Tumenggung pun tersenyum mesum sendiri dengan
khayalannya, sampai suara ketukan di pintu terdengar dengan salam yang sudah
dikenalnya. Datuk Laksamana!
Gusar dan panik, Datuk Tumenggung pun berniat lari.
Namun dengan sigap Siti Syarifah yang berpura-pura heran menunjukkan lemari di
ruangan itu. Tak banyak pikir, masuklah Datuk Tumenggung ke dalamnya.
Demikianlah. Satu persatu dikerjai oleh Siti
Syarifah. Yang paling naas adalah Datuk Laksamana. Dengan mesumnya dia
bertelanjang dada selagi Syarifah di dapur. Eh, sedang asyik dia berfilosofi,
“ibarat gulai di tangan, tak akan lari kemana jika bukan ke mulut juga”
terhadap Siti Syarifah yang ranum di dapur sana, suara Datuk Bendahara
terdengar. Gemetar ketakutan dia mencari tempat bersembunyi. Siti Syarifah,
dengan menahan tawa, mengatakan tak ada tempat bersembunyi di rumah itu. Tak
ada pintu lain. Namun jika Datuk Laksamana mau, bisa berpura-pura menjadi
patung di sudut ruangan, di sebelah lemari. Cukuplah dengan memegang setalam buah-buahan
dan berdiam diri, tak akan terlihat nyata di ruangan dengan pelita yang sudah
meredup cahayanya.
Datuk Laksamana pun bertindak sesuai anjuran. Di
sudut sebelah lemari, dimana Datuk Tumenggung bersembunyi, dia berpura-pura
menjadi arca. Diam tak berkutik ketika Datuk Bendahara masuk ke dalam rumah.
Lalu Datuk Bendahara pun kena. Sedang mesra
berkhayal, sempat terheran-heran melihat patung mirip-mirip Datuk Laksamana di
sudut dekat lemari, suara Raja terdengar bertandang. Imajinasi mesumnya buyar seketika.
Siti Syarifah pun menunjukkan kolong meja di dekat mereka, sebuah meja bertutup
kain. Sigap Datuk Bendahara masuk ke kolong meja, mengintip Raja yang masuk
dengan dituntun mesra oleh Siti Syarifah.
Tak seperti yang lainnya, Raja menolak disajikan
makanan. Dengan duduk berdekatan, dicobanya merayu-rayu menantunya itu
perlahan-lahan. Bercerita tentang sakitnya dan betapa dia merindu ingin bertemu
Siti Syarifah.
Siti Syarifah mendengar takzim layaknya anak menantu
terhadap mertua. Namun, rupa-rupanya Sang Raja sudah mulai nakal
menyentuh-nyentuh lengannya. Siti Syarifah tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa
dia hendak bermanja dengan Raja. Jika sudi, Raja dimintanya menjadi kuda. Raja
tertawa gembira, merasa menantunya sedang memberi pertanda, dengan segera dia
pun berlutut dan bergaya seperti kuda. Siti Syarifah tertawa dan meminta Raja
tidak berposisi kuda seperti biasa, dengan kaki dan tangan masih di lantai,
tapi hendaklah mengangkat ujung tangan dan ujung kaki sehingga cuma tersisa
lutut dan siku saja sebagai kuda-kuda. Raja mengalah dengan perkiraan bahwa ini
hanyalah trik Siti Syarifah untuk bermanja. Meski siku tangannya dan lututnya
terasa sakit, namun ketika Syarifah sudah duduk di punggungnya, seakan-akan
sedang naik kuda dengan duduk menyamping, senanglah hati Raja.
Para punggawa terhenyak di persembunyian
masing-masing. Raja Negeri Parun yang disegani lawan dan dihormati kawan,
menjadi kuda yang dinaiki seorang perempuan, tanpa sadar sedang ditonton oleh
petinggi-petinggi istana. Oleh Datuk Bendahara yang kepanasan di kolong meja.
Oleh Datuk Laksamana yang sudah pegal-pegal tangannya berpose sebagai sebuah
arca. Oleh Datuk Tumenggung yang kelaparan di balik lemari. Dan oleh Tuan Kadi
yang merasa paling beruntung di peti dengan makanan dan minuman tersaji.
Setelah satu kali keliling ruangan itu, Raja
menyerah. Siku-siku kaki dan tangannya sakit semua. Baru saja mereka berhenti
dan Syarifah hendak mengambilkan air, sebuah tangan mengacaukan segalanya.
Tangan itu adalah tangan Datuk Tumenggung yang kelaparan. Dengan diam-diam
Datuk Tumenggung membuka lemari. Melihat ada buah-buahan di talam yang dipegang
oleh “arca tembaga mirip-mirip Datuk Laksamana”, tangannya pun menjulur. Bukan
buah-buahan terpegang olehnya, namun batang hidung Datuk Laksamana. Datuk
Laksamana pun berteriak kaget, dicampaknya talam buah-buahannya, terkena pelita
dan padam. Datuk Tumenggung yang terkejut terbentur pintu lemari keningnya.
Sementara Datuk Bendahara, melihat peluang melarikan diri, mencoba keluar
lekas-lekas dari kolong meja, dan terbungkuk-bungkuk punggungnya membentur sisi
meja. Panik seisi ruangan, mencoba kalang kabut melarikan diri, seketika
menyadari bahwa bukan satu dari mereka ada di sana. Dalam gelap malam berdesak
dan berpencar mereka, juga Raja, kabur dari pintu depan. Kasut tercampak
berhambur dan hilang mereka dalam kegelapan malam.
Siti Syarifah pun menyalakan kembali pelita dan
memanggil suaminya turun dari loteng. Tun Utama, dengan tawa terpingkal-pingkal
mendapat tontonan gratis, turun dan memeluk istrinya. Lalu bersama mendekati
peti dimana Tuan Kadi bersembunyi.
Berteriak-teriak Tuan Kadi meminta Tuan Putri
Syarifah membukakan peti tersebut.
“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Tuan Kadi.
Bukankah cukup makanan dan minuman di situ?”
Sadarlah Tuan Kadi, bahwa dirinya sudah terjebak.
Tadi dikiranya dia yang paling beruntung, namun kini jelas bahwa dia yang
paling sial dari antara semua. Tun Utama, dengan tersenyum-senyum bertanya,
apakah mimpi soal musang berjanggut memang mimpi ataukah rekaan saja. Tuan Kadi
bersumpah bahwa soal musang berjanggut memang mimpi adanya. Bukan sekali-dua
datang padanya, sebagai obat kesembuhan Raja. Namun, Raja dan kemudian mereka
semua, dengan pikiran masing-masing, memperalat mimpi tersebut.
Tun Utama meminta Tuan Kadi bersabar, karena esok
mungkin semua ada hikmahnya.
Esoknya, sampailah kabar di istana bahwa Tun Utama
sudah kembali membawa musang berjanggut. Seisi negeri kaget dan
berbondong-bondong ke istana menanti musang berjanggut yang sudah ditangkap
oleh Tun Utama. Di balairung istana, Raja dan segenap pembesar kerajaan -minus
Tuan Kadi- sudah berkumpul. Mereka menatap tak percaya ketika sebuah peti besar
dibawa dua prajurit istana, dengan Tun Utama datang menghadap mengabarkan bahwa
sudah berhasil ditangkapnya musang berjanggut untuk kesembuhan Raja. Dengan
beringsut mundur Tun Utama mempersilakan diperiksa isi peti tersebut, adakah
benar musang berjanggut atau bukan.
Dari singgasananya, entah karena takut atau merasa
bersalah, Raja menyuruh punggawanya satu demi satu memeriksa isi peti, sebelum
dia nanti melihatnya sendiri.
Majulah Datuk Bendahara. Ketika dibukanya peti
tersebut, terkejutlah ia melihat Tuan Kadi meringkuk di dalamnya.
“Apa yang Tuan Kadi lakukan di dalam peti ini?”
“Melihat Datuk Bendahara mengganggu istri orang.
Bagaimana kabar punggung Datuk? Masih sakit membentur meja?”
Datuk Bendahara terdiam. Dia pun beringsut mundur,
menutup peti dan berkata kepada Raja.
“Memang benar ini musang berjanggut, Tuanku.”
Lalu maju pula Datuk Tumenggung. Reaksinya sama
kaget dengan Datuk Bendahara.
“Celakalah kita! Kenapa bisa begini, Tuan Kadi?”
Kadi Istana menjawab kecut sambil menunjuk kening
Datuk Tumenggung.
“Tanyakanlah pada kening Datuk yang bengkak itu.”
Datuk Tumenggung mundur dan menunduk malu. Lalu
mengangguk kepada Raja.
“Benar Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya.”
Berikutnya majulah pula Datuk Laksamana. Tak kalah
pula kagetnya Datuk Laksamana melihat isi di dalam peti. Mendesis-desis ia
berbisik,
“Astaga! Malang nian nasibmu, Tuan Kadi!”
Tuan Kadi tersenyum,
“Setidaknya lebih beruntung daripada menjadi patung
tembaga, Datuk Laksamana.”
Datuk Laksamana terpukul mundur. Ditutupnya peti dan
tegak menghadap Raja.
“Bagaimana, Laksamana?”
Datuk Laksamana menjawab,
“Tak diragukan lagi, Tuanku. Ini memang musang
berjanggut adanya. Jenis yang suka mengganggu ayam orang.”
Merasa penasaran, Raja pun turun dari singgasana
mendekati peti. Dibukanya peti dan terhenyaklah ia melihat wajah Tuan Kadi
menunduk malu di dalam peti. Mendesis Raja tak percaya:
“Tak kusangka semalang ini nasibmu, Kadi!”
Kadi istana menunduk dan menjawab,
“Beruntunglah hamba tidak dijadikan kuda tua untuk
ditunggangi, Tuanku.”
Raja terdiam lama di sisi peti tempat bersemayamnya
Tuan Kadi. Sadarlah dia kini, bahwa ini semua adalah pembalasan dari Tun Utama
dan terutama Siti Syarifah yang cerdik-jenaka. Sebuah pelajaran yang
menyadarkan orang-orang tua seperti dirinya dan para punggawa istana.
Raja menutup peti tersebut, dan menepuknya tiga
kali. Lalu mengumumkan bahwa benar adanya isi peti tersebut adalah musang
berjanggut.
Di akhir cerita, Raja dan semua punggawa
mengundurkan diri, setelah meminta maaf kepada Tun Utama dan Siti Syarifah
serta berterimakasih atas cara mereka mengajar tanpa mempermalukan orang-orang
tua yang khilaf tersesat nafsu. Nahkoda Terus Mata yang sempat dimintai bantuan
mencari obat oleh Tun Utama pun datang, dan mengabarkan nasehat dari tabib jauh
bahwa obat kesembuhan Raja cuma ada dalam dirinya sendiri.
Tun Utama diangkat menjadi Raja bersama Siti
Syarifah sebagai permaisuri istana. Selain dari mereka, tak pernah ada yang
tahu rupa musang berjanggut sesungguhnya, bahwa musang berjanggut itu tak lain
Kadi Istana yang memang berjanggut segenggam tangan, sebagai amsal sebuah
perilaku tercela dalam agama dan adat-istiadat. Peti “musang berjanggut” itu
pun dinyatakan sebagai harta istana. Disimpan sebagai pelajaran. Menjadi
hikayat makrifat turun-temurun.
* * *
Terlalu panjang?
Hikayat Musang Berjanggut ini adalah cerita Melayu
yang terserak dalam beragam versi. Sementara versi yang kuceritakan di atas
adalah versi Melayu Deli, ada versi-versi lain pula. Seperti versi yang pernah
difilmkan di negeri jiran, salah satu versi terkenal dari sederet film yang
pernah dibintangi oleh P. Ramlee. [Lihat sinopsisnya dalam ringkasan film-film
beliau.].
Di Indonesia, adaptasi Hikayat Musang Berjanggut ke
dalam film sudah pernah dilakukan juga. Film dengan judul Musang Berjanggut itu
dimunculkan pada tahun 1983, dengan disutradarai oleh Piet Burnama dan
dimainkan oleh sederet artis ternama di masanya, seperti: Roy Marten, Rini S.
Bono, Benyamin S., Farida Pasha, Soekarno M. Noor, Rina Hasyim, Ateng dan
Iskak. Versi Indonesia inilah yang merupakan adaptasi dari versi yang
kuceritakan di atas, karena diambil dari versi Melayu Deli yang dikomikkan oleh
Taguan Hardjo. Pernah juga dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun
2002, dengan sosok Siti Syarifah diperankan oleh Tamara Bleszynski.
Keseluruhan Hikayat Musang Berjanggut di atas itu,
kuketik ulang dengan mengandalkan ingatan saja. Sudah bertahun-tahun berlalu
sejak meninggalkan bangku SMP, sudah lama aku tak membaca cerita itu lagi, maka
harap dimaklumi jika panjang jadinya postingan ini. Jika di komiknya sendiri,
ceritanya mudah dipahami karena ada gambar, maka dengan mengandalkan ingatan
saja, semua gambar dan deskripsinya mesti dinarasikan dengan bentuk tulisan
begini
Hikayat Musang Berjanggut ini memiliki kesan
tersendiri. Bahkan rela buang waktu dari subuh kemarin hingga sepanjang malam
ini untuk bikin satu postingan begini. Mungkin bisa disebut sebagai tolok ukur
tersendiri untuk cenderung tidak gampang menerima urusan asmara dengan
perempuan. Dari sinilah mencuat istilah yang dianggap kolega dan adik angkatan
sebagai kuotasi lawasku di jaman sekolah dahulu, bahkan hingga terbawa ke
bangku kuliah: Perempuan yang 1 di antara 1000.
Kalau kata teman sehaluan-sebangku-sekolahan, “Mesti
ketemu yang mampu bikin jantung mendebar, baru kita bawa sirih sehampar.”
Tapi pertanyaan tentang “urusan itu” selalu
memburu-buru. Rasa penasaran kolega dan keluarga bertanya (meniru nada kuis
lawas Aom Kusman) “Oh oh, siapa dia?” yang akan dipersunting kelak, menjadi
sebuah pertanyaan klise dan monoton. Bahkan ketika kemudian terdeteksi siapa
binti siapa pernah hadir berupa-rupa.
Kondisi demikian tak selalu enak. Dekat dengan
sejumlah perempuan itu selalu berujung pertanyaan demikian. Dari pertanyaan,
“Kapan jadian?” sampai pernyataan “Ditunggu undangan!”. Anda yang laki-laki
bisa letakkan diri di posisi macamku ini, maka Insya Allah, kata sombong,
pemilih, sampai belagu bisa jadi tudingan biasa. Apalagi dari kalangan sepupu
dan kolega sejawat.
Pacaran? Hubungan macam apa itu? Selepas SMU, tak
pernah sekali juga ada status begitu kulekat-lekatkan pada diri sendiri. Konsep
pacaran terlalu rumit dan lebih belagu daripada belagunya hidup begini. Setiap
hubungan cuma ada dua pilihan: Kawan atau Kawin. No pacaran needed. Setiap
hubungan, nikmati sebagai kawan. Komitmen jelaskan, tegaskan. Kalau Kawan, ya
kawan. Kalau kawin ya kawin. Pacaran? Dengan ritual apel-mengapeli tanpa buah
apel sama sekali, dengan telepon-menelepon, rindu-merindu, dalam skedul-skedul
waktu tertentu? Bah! I don’t believe in that sh!t.
Karena, masalah yang satu itu -masalah kawan pilihan
peneman hidup- seumpama memilih baju juga adanya. Jika tak cocok di badan, tak
bisa dipaksakan. Terlalu kecil, badan sempit rasa tercekik seumur hidup.
Terlalu lebar, bisa jadi kedodoran. Bukankah agama juga mengisyaratkan begitu
adanya, bahwa dua sejoli itu adalah pakaian yang saling menutupi satu sama
lain?
Apapun… Hikayat ini memang merupakan salah satu
cerita terbaik dari masa kanak-kanakku dulu. Sebuah hikayat dari masa bocah,
sampai jadi remaja lalu memasuki usia dewasa, yang telah mengajarkan seperti
apa jadinya bikin pilihan menjadi tampak terlalu idealis™ di mata yang lain.
Tentu tak luput nilai-nilai moral peradaban Melayu dahulu kala, yang
dipetuahkan sebagai anak keturunan Aceh-Melayu di pesisir selatan propinsi ini.