Jumat, 05 Juli 2013

Ketika Mendengar Suara Keledai, Anjing, dan Ayam

Ketika Mendengar Suara Keledai, Anjing, dan Ayam
110- PETUNJUK KETIKA MENDENGAR KOKOK AYAM ATAU RINGKIKAN KELEDAI

228- إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيْكَةِ فَاسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ، فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا، وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيْقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا.
228. Apabila kamu mendengar ayam jago berkokok, mintalah anugerah kepada Allah, sesungguhnya ia melihat malaikat. Tapi apabila engkau mendengar keledai meringkik, mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan setan, sesungguhnya ia melihat setan. [249]
---------------------------------
[249] HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari 6/350, Muslim 4/2092.

111- PETUNJUK APABILA MENDENGAR ANJING MENGGONGGONG

229- إِذَا سَمِعْتُمْ نُبَاحَ الْكِلاَبِ وَنَهِيْقَ الْحَمِيْرِ بِاللَّيْلِ فَتَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنْهُنَّ فَإِنَّهُنَّ يَرَيْنَ مَا لاَ تَرَوْنَ.
229. Apabila kamu mendengar anjing menggonggong dan mendengar keledai meringkik, mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya mereka melihat apa yang tidak kamu lihat. [250]


Selasa, 02 Juli 2013

Sahabat Empat


http://www.mediafire.com/folder/ufu11nif02ludpp,8oy20c4y26z5i8y,fl2c3g922077m0w,qd3n1fj67x66ies,v5ivh78bpyjodrn/shared

Tajul Muluk (Makhota Raja )____Astronomi Pertanian


http://www.mediafire.com/download/0cdtpg8vlhxn4a8/tanaman_tajul_muluk.doc

Qira'at


http://www.mediafire.com/download/lv3dddc9472c58v/

Rahasia Surat Al-Fatihah


http://www.mediafire.com/download/czzwmxk7w1nzlba/RAHSIA_SURAT_AL_FATIHAH.doc

Syair Hamzah Al-Fanshuri

http://www.mediafire.com/download/uhfayt3xa2vx9hu/

Tafsur Mimpi Versi Al-Qur'an dan Sunnah

http://www.mediafire.com/download/djjpljck15o78aq/Tafsir_Mimpi.pdf

Sulatus Salatin oleh A. Saman Ahmad

http://www.mediafire.com/download/0q9q4849obtpblx/sulatus.pdf

Hikmah i balik Musibah


Hikmah Di Balik Gempa Aceh


ACEH sebagai daerah dengan julukan kota Serambi Mekkah ini,  tentu tak akan pernah terlupakan ketika pada 26 Desember 2004, diguncang oleh gempa dan Tsunami dengan kekuatan 9,3 Skala Richter menelan lebih dari 126.000 korban jiwa serta puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatra.
Di Banda Aceh, ketika itu sekitar 50% dari semua bangunan rusak terkena Tsunami. Tetapi, kebanyakan korban disebabkan oleh Tsunami yang menghantam pantai barat Aceh dan Sumatra Utara.
Kini, pekan ini, Aceh kembali diguncang oleh gempa dengan kekuatan 8,5 Skala Richter dan berpotensi Tsunami (walaupun akhirnya Tsunami tidak terjadi). Walaupun gempa yang terjadi tidak separah tahun 2004, tetap saja gempa yang terjadi ini menjadi peringatan, tak hanya bagi saudara kita yang ada di Aceh dan sekitarnya, tetapi juga bagi diri kita yang sampai saat ini masih merasakan nikmatnya kesehatan dan keselamatan.
Mungkin kita bertanya tanya mengapa Allah mendatangkan gempa di negeri dengan mayoritas penduduknya muslim di sana? Negeri yang dijuluki kota Serambi Mekah? Mengapa tidak di tempat yang lain, tempat yang banyak ahli maksiat?
Yah, diperlukan kejernihan hati dan pikiran ketika kita ingin mengambil saripati hikmah dari setiap skenario peristiwa yang Allah tunjukan kepada kita. Allah Yang Mahabaik pasti memiliki maksud atas setiap kejadian yang datang di negeri ini. Allah ingin menunjukan kepada kita bahwa segala macam bencana bisa datang kapan dan di mana saja, tanpa bisa di prediksi oleh suatu teknologi paling canggih sekalipun di abad ini. Begitu lemahnya kita sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan.
Bepikirlah dan ambillah hikmah dari kejadian gempa yang terjadi di Aceh kemarin. Renungkanlah pesan cinta yang allah sampaikan untuk kita semua di bawah ini :
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah,” (Al-Hadid: 22).
Apakah Allah subhanahu wa ta’ala hendak berbuat dzalim kepada hamba-Nya atau menyakitinya dengan mendatangkan banyaknya bencana di negeri ini? Mari kita baca pesan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah akan menyegerakan hukuman baginya di dunia dan jika Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya niscaya Allah akan mengakhirkan hukuman atas dosa-dosanya sehingga Allah akan menyempurnakan hukuman baginya di akhirat kelak,” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa apabila Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah Ia akan menyegerakan hukuman baginya di dunia.
Maka bergembiralah, wahai saudara-saudaraku kaum muslimin! Karena musibah ini kita harapkan sebagai bukti bahwa Allah menghendaki kebaikan untuk diri-diri kita, baik di dunia maupun di akhirat, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang Rasulullah Sabdakan: “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah suatu kebaikan bagi dirinya, niscaya Allah akan menimpakan baginya musibah,” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Harus kita yakini bahwa Allah memiliki tujuan dan rencana di setiap kejadian yang di terjadi di negeri ini, maka janganlah kita putus asa.  “Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung dengan besarnya ujian/musibah yang menimpamu,” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Anas radhiyallahu ‘anhu).
Sekalipun rumah hancur atau harta musnah, namun kenikmatan yang agung tetap ada pada kita. Yaitu kenikmatan iman dan kenikmatan Islam, sebagaimana yang Allahl firmankan: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu,” (Al-Maidah:3).
Mari kita sejenak mendoakan keselamatan untuk saudara kita di Aceh dan sekitarnya, semoga mereka diberikan keselamatan, ketabahan dan kesabaran atas gempa yang terjadi kemarin. Bisa jadi kebahagiaan dan keselamatan yang kita rasakan sampai saat ini, itu karena ada doa dari orang yang tidak pernah kita kenal atau bahkan tidak pernah kita jumpai selama hidup kita, yang begitu konsisten dan ikhlas mendoakan kebaikannya untuk kita. Bisa jadi ada diantara saudara kita yang saat ini sedang tekena musibah dan mereka masih menyempatkan diri untuk mendoakan keselamatan untuk diri kita. Bagaimana dengan diri kita? Wallahualam Bissawab. [Gunawan Al-Farizi/islampos
]

PREDIKSI AWAL BULAN MUHARRAM 1434 HIJRIAH


PREDIKSI AWAL BULAN MUHARRAM 1434 HIJRIAH




Tahun 1433 Hijriyah akan segera berakhir dan sebentar lagi kita akan memasuki Tahun Baru Hijriyah 1434. Semoga tahun ini kita bisa lebih baik dari tahun kemarin. Rabu, 14 November 2012 sore merupakan saat pelaksanaan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan Muharram 1434 Hijriyah karena hari itu bertepatan tanggal 29 Zulhijjah 1433 H menurut versi Taqwin Standar Indonesia yang diterbitkan pemerintah.

Hari itu dari Pos Observasi Bulan Bukit Bela-belu Parangkusumo, Matahari terbenam pada pukul 17:37 WIB pada azimuth 251°18'. Tinggi Hilal saat Matahari terbenam 06°04' di atas ufuk mar'i di atas posisi Matahari terbenam. Bulan terbenam pada 18:05 WIB pada azimuth 250°22' atau 28 menit setelah Matahari terbenam. Pada kondisi seperti ini sesuai kriteria Danjon Hilal mungkin dirukyat dengan menggunakan bantuaan teleskop.

RHI Yogyakarta akan melakukan rukyatul hilal pada Rabu, 14 November 2012 di POB Bela-belu Parangkusumo, Bantul Yogyakarta. 





Minggu, 30 Juni 2013

Kitab Tajul Muluk (Makh0ta Raja)

Kitab Tajul Muluk (Makh0ta Raja)
Untuk Pertanian
Dalam kitab Tajul Muluk (Mahkota Raja) yang ditulis oleh Syech Abdurrauf (Syiah Kuala) pada abad 16 M, disana disebutkan waktu yang baik untuk menanam dan jenis tanamannya. Itu terkait dengan bulan, hari dan jam kita melakukan penanaman.
Untuk jenis tanaman berbatang, berbiji, berbunga, berdaun dan berbuah di atas tanah, sebaiknya ditanam pada waktu bulan naik dalam tahun hijriah, yaitu 1 s/d 15 hari bulan hijriah. Sedangkan untuk tanaman yang berbuah dan berakar dalam tanah (yang berumbi), sebaiknya dilakukan pada waktu bulan turun, yaitu 16 s/d 30 hari bulan hijriah.
Lebih lanjut, terkait penentuan hari dan jenis tanaman, pada hari Minggu, tepatnya menanam segala jenis tanaman yang berbatang, seperti kulit kayu manis, jati, mahoni, cemara laut, karet, tebu dan yang sejenis dengan itu, pada hari penanaman dilakukan pada pagi atau sore setelah shalat Ashar.
Pada hari Senin, tepatnya menanam segala jenis tanaman yang berbuah dalam tanah, seperti kentang, ubi kayu, jahe, kunyit dan semua yang sejenisnya. Penanaman pada hari ini dilakukan pada hampir tengah hari atau sebelum azan Dzuhur.
Untuk hari Selasa, penanaman sebaiknya dilakukan pada waktu Dhuha, sekitar jam 7 s/d 10 pagi, dan jenis tanaman yang cocok adalah tanaman yang berbiji, seperti padi, jagung, kacangan, merica, pinang, kemiri, sawit, coklat dan yang sejenis dengannya.
Menanam segala jenis bunga ada baiknya dilakukan pada hari Rabu, ini dilakukan pada tengah hari atau setelah shalat Ashar. Sedangkan segala jenis tanaman yang dimanfaatkan daunnya, seperti sawi, kol, bayam, nilam dan sejenisnya, baiknya penanaman dilakukan waktu pagi hari atau tengah hari pada hari Kamis.
Hari Jum’at, segala jenis tanaman yang berbuah di batang tepat ditanam pada hari tersebut, seperti kelapa, mangga, pepaya, pisang cabai, terong, tomat, semangka dan sejenisnya. Waktu yang tepat ditanam adalah setelah selesai waktu shalat Jum’at.
Seluruh tanaman yang dimanfaatkan akarnya, seperti ginseng, akar wangi, akar ilalang dan sejenis dengannya, sangat cocok ditanam pada hari Sabtu pagi atau dalam waktu Dhuha, wallahualam. (zamroe)


Fariduddin al-`Aththar__ RINGKASAN MANTIQ AL-THAYR

III
Fariduddin al-`Aththar
RINGKASAN MANTIQ AL-THAYR

Segenap burung dari seluruh dunia, yang dikenal maupun tidak, suatu ketika berkumpul. Mereka mengeluh, “Di dunia ini tak ada negeri yang tak memiliki raja. Bagaimana kerajaan burung bisa tak memiliki raja seorang pun sampai sekarang? Keadaan ini tak bisa kita biarkan berlangsung terus. Kita harus bersama-sama berusaha dan pergi mencari seorang raja buat kita, karena tak adalah negeri yang pemerintahannya baik dan teratur rapi tanpa seorang raja.”
Mereka pun mulai bersidang untuk memecahkan persoalan itu. Burung Hudhud demikian tertarik dan dengan penuh harapan majulah ia ke depan, mengambil tempat di tengah-tengah sidang para burung itu. Sebuah hiasan terpampang di dadanya yang menandakan bahwa ia telah menguasai jalan ilmu pengetahuan rohani; jambul di kepalanya adalah mahkota kebenaran, dan ia pun telah menguasai pengetahuan baik dan buruk.
“Saudaraku para burung sekalian,” kata Hudhud. “Aku adalah salah seorang di antara mereka yang telah mengecap rahmat Tuhan. Aku adalah utusan dari alam gaib. Aku memiliki pengetahuan Ketuhanan dan rahasia makhluk-makhluk-Nya. Bila ada burung seperti aku dengan paruh bertanda nama Tuhan, Bismillah, pantaslah burung seperti itu kalian ikuti karena orang harus mempunyai pengetahuan yang luas mengenai rahasia-rahasia yang gaib. Namun hari-hari bersliweran tak putus-putusnya dan aku tak punya sangkut paut lagi dengan apa dan siapa pun. Seluruh diriku telah diliputi oleh cinta kepada Baginda Raja. Aku bisa mendapatkan air dengan naluriku, dan begitu banyak rahasia kehidupan lain telah kuketahui. Aku telah bercakap-cakap dengan nabi Sulaiman, beserta pengikut-pengikutnya yang utama. Yang mengherankan ialah biasanya dia tak pernah bertanya dan tak pernah ingat lagi kepada siapa saja yang pernah mengunjungi istananya, namun kepadaku sehari saja aku jauh dari sisinya dikirimnya utusan ke mana-mana untuk mencariku, sehingga kemuliaanku tak pernah berkurang karenanya. Akulah yang mengirimkan surat-suratnya, dan aku pulalah sahabatnya yang paling setia. Burung yang telah dimuliakan oleh sang nabi memperoleh anugerah mahkota di atas kepalanya. Dapatkah burung yang bisa bercakap-cakap seperti itu rontok bulu-bulunya dalam debu? Bertahun-tahun lamanya sudah aku menjelajahi lautan dan daratan, mengarungi puncak-puncak gunung dan dasar lembah. Aku sanggup menerobos ruang yang sesak dilanda banjir dahsyat. Aku senantiasa mengiringi nabi Sulaiman setiap kali bepergian dan aku telah mengenal batas-batas dunia.”
“Aku kenal raja itu dengan baik, tapi aku tak bisa terbang sendiri menemuinya. Bebaslah dirimu dari rasa malu, sombong dan ingkar. Dia pasti bisa melimpahkan cahaya bagi mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri sendiri; mereka yang demikian itu akan bebas dari baik dan buruk karena berada di jalan kekasihnya. Bermurah hatilah sepanjang hidupmu. Sekarang angkatlah kakimu dari bumi dan terbanglah dengan gembira menuju istana sang raja. Namanya Simurgh. Dia adalah raja diraja sekalian burung. Dia dekat kepada kita, namun kita jauh darinya. Tempat semayamnya sukar sekali dicapai dan tak ada lidah yang sanggup menyebut namanya. Di hadapan baginda bergantungan ratusan ribu benang sinar terang dan gelap, dan di dalam dunia yang fana maupun baka tak seorang pun yang dapat menaklukkan kerajaannya. Dialah raja yang berdaulat dan mandi kesempurnaan. Dia tak pernah memperlihatkan seluruh dirinya, juga di tempatnya bersemayam. Karena itu tak adalah pengetahuan atau kepandaian yang bisa mengetahuinya. Jalan itu tiada dikenal, dan tak seorang pun memiliki kesabaran yang cukup buat menjumpainya. Walaupun begitu ribuan makhluk senantias merindukannya selama mereka hidup. Pun jiwa yang paling murni tak dapat menguraikannya, pikiran pun tak dapat menggambarkan: dua alat penglihatan manusia ini buta di hadapannya. Kearifan tak dapat mencapai kesempurnaannya dan manusia yang paham pun tak mampu melihat keindahannya. Seluruh makhluk ingin mencapai kesempurnaan dan keindahan ini melalui khayalannya. Tapi bagaimanakah kau bisa menjejakkan kaki di jalan itu dengan pikiran? Bagaimana kau bisa mengukur bulan dengan ikan? Demikianlah telah ribuan kepala bolak-balik pergi ke sana, seperti bola yang berputar-putar di lapangan, dan hanya ratap tangis rindu mereka yang terdengar. Beribu daratan dan lautan terbentang sepanjang perjalanan menuju tempatnya. Jangan bayangkan perjalanan ini singkat; orang harus memiliki hati singa untuk dapat menempuh jalan yang luar biasa ini, karena begitu panjangnya dan lautnya rancam serta dalam pula. Kau harus berusaha sekuat tenaga, disertai senyum dan sesekali menangislah tersedu-sedu. Seperti halnya aku, menemukan jejaknya saja sudah merasa bahagia. Jejaknya sangat berarti, dan hidup tanpa dia akan menyebabkan kita diliputi penyesalan. Seseorang tak boleh menyembunyikan jiwanya dari kekasihnya, dia harus menjaga dirinya baik-baik agar jiwanya dapat dibawa menuju istana sang raja. Bersihkan tanganmu dari kotoran hidup ini bila kau ingin disebut orang yang beramal. Panggillah kekasihmu sebagai orang yang mulia. Bila kau patuh dan tunduk kepadanya, dia akan memberikan seluruh hidupnya kepadamu.”
“Dengar! Ada lagi yang mentakjubkan. Pada mulanya Simurg terbang pada malam hari di tengah gelap gulita di negeri Cina. Selembar bulunya jatuh di situ, hingga seluruh dunia tercengang melihat keindahannya. Orang-orang mulai menggambar bulunya yang indah itu, dan dari gambar bulunya itulah tersusun berbagai sistem pemikiran, sehingga akhirnya kacau-balau karena begitu banyaknya. Bulu Simurgh yang jatuh itu sekarang masih tersimpan di negeri itu. Itulah sebabnya hadith nabi mengatakan: “Carilah ilmu pengetahuan sampai ke negeri Cina sekalipun.”
“Namun demikian pemunculan Simurgh yang pertama kali itu tidaklah begitu membingungkan dibanding Wujudnya yang rahasia. Tanda perwujudannya ini merupakan lambang kebesarannya. Seluruh makhluk yang bernyawa di dunia ini pasti memancarkan bayang-bayangnya. Oleh sebab dalam pemunculannya yang pertama kali tanpa ekor maupun kepala, tanpa ujung dan pangkal, maka tak perlulah kiranya kuceritakan lebih banyak mengenai dia. Sekarang, bersiap-siaplah kalian untuk mengarungi Jalan menuju istananya!”
Mendengar cerita Hudhud itu, burung-burung terpesona dan ramailah mereka membicarakan keagungan sang raja. Dan terdorong oleh keinginannya untuk menjumpai Simurgh, supaya kedaulatan kerajaan burung bisa ditegakkan lagi, mereka menjadi tak sabar untuk segera menghadap Simurgh. Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi bersama-sama, berjanji satu sama lain saling bersahabat dan melawan diri masing-masing sebagai musuhnya. Namun ketika mereka sadar bahwa perjalanan yang akan mereka tempuh demikian panjang dan penuh penderitaa, hati mereka pun bimbang. Sambil mengatakan bahwa mereka tak punya maksud buruk, dengan cara masing-masing mereka mengemukakan alasan.
Burung Kenari berkata: “Ambillah pelajaran dari nasibku. Seluruh umat manusia terpesona oleh warna bulu Simurgh, lalu badanku ini yang mereka kurung. Maka penuhlah hidupku diliputi sedih dan rindu, padahal buat terbang di bawah kepak sayap sang Simurgh saja aku pun tak sanggup!”
Burung Merak menyahut: “Dulu aku hidup bersama Adam dan Hawa di sorga, namun akhirnya aku terusir bersama mereka. Keinginanku ialah pulang kembali ke tempat asalku. Sebab itulah tak ada keinginanku bertualang mencari maharaja Simurgh.”
Menyahut pula Unggas: “Aku telah biasa hidup dalam kesucian, dan sudah terbiasa berenang di air. Yang lain tak kurindukan lagi. Aku tak sanggup keluar dari genangan air, dan tak bisa hidup di tempat yang kering kerontang!”
Lalu berkata Garuda: “Aku sudah biasa hidup senang di gunung. Bagaimanakah aku akan sanggup meninggalkan tempat semayamku yang menyenangkan?”
Kemudian burung Gelatik menyambung: “Aku hanseekor burung mungil dan lemah. Takkan mungkin burung sekecil aku ini sanggup mengembara sejauh itu.”
Menyahut pula burung Elang: “Saudara-saudaraku yang tercinta, kalian sudah tahu bukan bahwa kedudukanku tinggi sekali di sisi raja? Mana mungkin aku meninggalkan kedudukan semulia itu?”
Seekor burung yang lain berkata: “O Hudhud karena kau lebih mengetahui jalan menuju temapt raja yang kau ceritakan itu, dan kau yang menginginkan kami menyertaimu, sedang bagi kami jalan itu gelap gulita, sebaiknya kau sendirilah yang pergi. Dalam kegelapan semacam itu, apalagi banyak sekali bahaya yang mengancam sepanjang perjalanan, pasti kami tak bisa menyertai perjalananmu menghadap raja.”
Mendengar apa yang dikatakan burung-burung itu, Hudhud berkata: “Ingat, aku tak boleh lalai menyampaikan nasihatku yang baik kepada kalian semua. Niatku suci. Apa yang menyebabkan kalian semua mencari alasan yang bermacam-macam, apakah hanya karena terbiasa hidup enak? Dan mengapa harus kita biarkan terlantar cita-cita kita yang suci ini karena terikat kesenangan? Azam yang kuat dan hati yang teguh serta sabar, akan mampu memusnahkan segala kesulitan dan menjadikan dekat segala yang jauh.”
Mendengar jawaban Hudhud ini bertanyalah seekor di antara burung-burung itu: “Lalu dengan cara bagaimana dan melalui jalan apa saja agar kita sampai ke tempat yang jauh dan sulit itu? Dan dengan perlengkapan apa pula kita bisa sampai ke istana ‘maharaja Simurgh?”
Hupu menjawab: “Kita harus menyeberangi tujuh lembah, baru kita akan sampai di tempat maharaja Simurgh. Tak ada yang bisa lagi kembali ke dunia bilamana telah menempuh perjalanan yang maha jauh itu, dan mustahil pula kita bisa menyebutkan berapa banyak rintangan yang akan kita temui. Sabarlah, bertaqwalah kepada Tuhan, karena bila kalian telah sanggup menempuh perjalanan itu kalian akan tetap berada dalam diri kalian buat selama-lamanya.”
“Lembah pertama adalah Lembah Pencarian, kedua Lembah Cinta, ketiga Lembah Pemahaman, keempat Lembah Kebebasan dan Kelepasan, kelima Lembah Kesatuan Sejati, keenam Lembah Ketakjuban dan ketujuh Lembah Kefakiran dan Kefanaan. Di balik itu tak ada lagi apa-apa.”
Mendengar petunjuk yang diberikan Hudhud ini kepala burung-burung tunduk terkulai, dan rasa pilu mulai menekan hati mereka. Sekarang mereka mengerti betapa sukarnya perjalanan itu. Lebih-lebih bagi makhluk seperti mereka yang kecil tak berarti bagaikan busur yang mudah patah bila ditarik terlalu kencang. Mereka diliputi bayangan ajal yang akan mereka temui. Namun burung-burung yang lain, tanpa mengacuhkan penderitaan yang akan mereka alami, akhirnya memutuskan untuk segera berangkat mengarungi jalan yang mahapanjang itu.
Bertahun-tahun lamanya mereka mengarungi gunung dan lembah, dan sebagian besar dari umur mereka dihabiskan dalam perjalanan. Tapi bagaimana mungkin menceritakan seluruh peristiwa dan kejadian yang mereka alami, tanpa mengikuti perjalanan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri kesulitan yang dihadapi burung-burung itu? Marilah kita ikuti perjalanan jauh mereka, dengan demikian kita mengetahui penderitaan mereka.
Pada akhirnya cuma sedikit dari mereka itu yang benar-benar sampai ke tempat yang teramat mulia itu di mana Simurgh membangun mahligainya. Dari ribuan burung yang pergi, hampir semuanya sirna dan lenyap. Banyak yang hilang di lautan; yang lain ada yang mendapat kecelakaan di puncak gunung yang tinggi, dibunuh rasa haus yang tak tertahankan; yang lain lagi sayapnya hangus dan hatinya kering terbakar matahari; sedang yang lain lagi mampus diterkam harimau dan macan tutul; yang lain lagi mati karena teramat lelah di gurun dan hutan yang buas, bibir mereka kering pecah-pecah dan tubuh mereka ludes di telan panas. Beberapa lagi menjadi gila dan saling membunuh satu sama lain memperebutkan butir-butir padi atau jagung; yang lain lunglai oleh derita dan kepayahan, terkapar di jalan, tak sanggup terbang lebih jauh lagi; yang lain kebingungan dan silau melihat benda bermacam-macam yang memikat mata, berhenti di tempat di mana mereka melihat benda itu, terbius; dan banyak pula yang terhenti karena godaan kenikmatan atau keinginan buat mengecap berbagai kepuasan badaniah, sehingga lupa pada cita-citanya semula yang luhur, yaitu menemui rajanya.
Maka di luar ribuan burung yang sirna itu, tinggalah cuma tiga puluh ekor yang berhasil menempuh perjalanan itu. Dan walaupun mereka sampai juga, mereka masih bimbang, takut dan padam semangatnya, tanpa bulu dan sayap sehelai pun yang tinggal.
Kini mereka berdiri di muka gapura istana Simurgh yang tak terlukiskan dan tak terpahami hakekatnya. Itulah Wujud yang tak dapat dicerna akal maupun pengetahuan. Kemudian sinar kepuasan menyala terang di hadapan mereka, dan ratusan kehidupan sirna dalam sekejap mata tersiram oleh cahaya-Nya. Setelah itu mereka melihat ribuan matahari, sinarnya berbeda satu sama lain, beribu-ribu bulan dan bintang yang indah permai, dan semua yang mereka lihat itu membuat mereka merasa takjub dan terpesona bagaikan pusaran atom. Serentak mereka berseru: “O, Kau yang lebih gemilang dari Surya! Matahari padam oleh sinar-Mu dan menjelma atom, bagaimana pulakah dengan kami yang kecil ini? Jauh dan penuh derita perjalanan yang telah kami tempuh, adakah kami akan sia-sia? Kami telah meninggalkan diri kami dan bebas dari belenggu benda-benda dunia, akan gagalkah kami bertemu raja kami? Betapa kecilnya kami di sini dan tak tahu apakah kami ini ada atau tidak.”
Burung-burung yang tak berdaya menyerupai ayam sekarat itu kemudian merasa putus asa. Demikian lama mereka menunggu jawaban. Tiba-tiba dalam sekejap mata pintu pun terbuka dan muncullah sang pengawal istana. Dipandangnya burung-burung itu dan tahulah dia bahwa jumlah mereka tinggal tigapuluh ekor dari ribuan yang bersama-sama melakukan perjalanan.
Pengawal berkata, “Dari manakah kalian datang, o burung-burung? Apa yang kalian lakukan di sini? Siapa saja nama kalian? Betapa sengsaranya kalian, di manakah rumah kalian? Apa yang bisa kalian kerjakan sebagai makhluk yang lemah di tempat ini?”
“Kami datang kemari,” ujar mereka, “untuk menghadap raja kami Simurgh. Karena begitu rindu dan cintanya kami kepada baginda, beginilah akhirnya kami kebingungan dan pusing. Dulu ketika kami berangkat jumlah kami ribuan, dan kini kami hanya tinggal tiga puluh ekor. Kami tak yakin raja kami akan memperlakukan kami penuh penghinaan seperti ini, karena perjalanan yang kami tempuh demikian sukar dan penuh penderitaan. Oh, tidak! Baginda harus menyambut kami dan menerima kami dengan penuh kasih sayang!”
Pengawal menjawab, “O, burung-burung yang kebingungan dan kesulitan, apakah kau ada atau tidak, raja tetap ada dan abadi. Ribuan makhluk di dunia tak lebih dari semut di depan gapuranya, apalagi kalian. Kalian kemari tak membawa sesuatu apa pun, kecuali ratap tangis dan sedu sedan. Kembali sajalah kalian ke tempat kalian datang, o makhluk yang hina dina!”
Mendengar itu mereka terkulai dan heran. Sekalipun demikian, setelah berpikir sejenak, mereka berkata lagi, “Apakah baginda akan menolak kami seraya menghina? Dan bilamana demikian memang sikap baginda, tak mungkinkah penghinaannya berubah jadi penghormatan? Majnun pernah berkata “Bila seluruh umat manusia di bumi ini menyanyikan puji-pujian bagiku, aku takkan menerimanya; aku lebih suka penghinaan Leila. Sebuah penghinaan yang diberikan Leila bagiku jauh lebih baik dari ribuan pujian dari perempuan yang lain.”
“Cahaya kebesarannya telah tersingkap,” ujar pengawal. “Dan semua nyawa akan hangus. Bila roh sirna oleh ratusan dukacita, pahala apa yang akan diperoleh? Anugerah apa yang akan kalian terima dalam sekejap ini?”
Terbakar oleh api cinta burung-burung itu berkata, “Bagaimana laron bisa mengelak dari nyala lilin apabila dia ingin menyatu dengan cahaya lilin? Sahabat yang kami cari pasti membuat hati kami senang bilamana kami dikabulkan berkumpul dengannya. Bila kami sekarang ditolak buat berjumpa, apalagi yang harus kami lakukan? Kami laksana laron yang ingin menyatu dengan nyala lilin. Kami mohon bukan lantaran dungu, karena tujuan kami adalah mensucikan diri, dan kami yakin ucapan kami ini akan membuat hatinya senang serta berterima kasih karenanya. Bukankah bagindatelah berkata, barangsiapa yang menyerahkan seluruh hatinya pada nyala apinya, takkan ada kesulitan yang merintangi dirinya?”
Setelah pengawal selesai menguji ketabahan mereka, kemudian pintu itu terbukalah. Sesaat mereka menyingkir ke samping. Kemudian seratus tabir satu persatu tersingkap di hadapan mereka dan tampaklah dunia baru di hadapan mereka. Cahaya dari segala cahaya bersinar terang dan duduklah mereka semua seraya tunduk di hadirat baginda yang mulia. Mereka memperoleh kalam buat mereka baca; dan setelah mereka membaca dan merenunginya dalam-dalam, barulah mereka paham keadaan yang sebenarnya. Hatimereka tenang dan damai, lepas dari segala kesulitan, dan setelah itu barulah mereka menyadari bahwa Simurgh tinggal bersama mereka. Dan kehidupan baru bersama Simurgh telah mereka kecap. Seluruh amal dan perbuatan mereka selama ini lenyap tak berbekas. Matahari kebesaran sang raja memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, dan tiap sinar memantulkan wajah mereka tiga puluh ekor banyaknya (si-murgh) dari dunia luar yang telah terserap Simurgh yang bersemayam dalam diri mereka. Mereka merasa takjub, karena sebelumnya mereka tak menyangka bahwa mereka akan tetap sebagai diri mereka. Akhirnya ketika mereka merenungi dalam-dalam, tahulah bahwa merekalah Simurgh itu sendiri dan bahwa Simurgh artinya tiga puluh ekor burung. Ketika mereka menatap Simurgh mereka lihat bahwa Simurgh benar-benar yang ada dihadapan mereka, dan bilamana mereka mengalihkan mata mereka sendiri adalah Simurgh. Dan bilamana keduanya saling memandang, diri mereka dan Dia, tahulah mereka bahwa mereka dan Simurgh adalah satu dan wujud yang sama jua. Hal ini tak pernah mereka dengar sebelumnya.
Kemudian mereka tafakkur dan tak lama sesudah itu mereka mohon kepada Simurgh tanpa menggunakan lidah, agar mewahyukan kepada mereka rahasia kesatuan dan kepelbagaian wujud. Simurgh, pun tanpa mengucapkan sepatah kata, menjawab: “Matahari kebesaranku adalah sebuah cermin. Dia yang melihat dirinya sendiri akan melihat jiwa dan tubuhnya, dan akan melihatnya dengan sempurna. Karna kalian datang sebanyak tigapuluh ekor, si-murgh, maka kalian akan melihat tigapuluh ekor burung dalam cermin ini. Bila empat puluh atau lima puluh ekor yang datang, yang akan kau lihat sama. Walaupun sekarang kalian benar-benar mengalami perubahan, kalian lihat diri kalian sendiri tetap sebagaimana diri kalian sebelum ini.
“Dapatkah penglihatan seekor semut mencapai bintang Soraya yang jauh? Dan dapatkah serangga kecil ini mengangkat tempat pijaknya? Pernah kau lihat seekor nyamuk mengangkat seekor gajah dengan giginya? Segala yang kau ketahui, segala yang telah kau lihat, segala yang telah kau katakan atau kau dengar – semua ini bukan itu lagi. Bilamana kalian telah menyeberangi lembah jalan kerohanian dan bilamana kalian telah memenuhi kewajiban dengan baik, kalian akan menjadi seperti ini berkat tindakanku; dan kalian sanggup melihat lembah hakikat dan kesempurnaanku. Kalian, yang jumlahnya tiga puluh ekor, takjub, tercengang dan kagum. Tapi aku lebih dari tiga puluh ekor burung. Aku adalah hakekat yang sesungguhnya dari Simurgh yang sebenarnya. Leburkan diri kalian dengan bangga dan penuh sukacita ke dalam aku, dan di dalam aku kalian akan menemukan diri kalian.”
Setelah itu burung-burung itupun sirna buat selama-lamanya di dalam Simurgh – bayang-bayangnya musnah ditelan sang matahari, dan khatam.
Apa yang kau dengar semua ini atau apa yang kau lihat dan kau ketahui bukan awal dari segala yang harus kau ketahui, dan puing-puing kehidupan di dunia ini bukanlah tempat tinggal yang harus kau rindukan. Carilah batang pohon, dan jangan khawatir apakah cabang-cabangnya itu ada atau tidak.
Ribuan generasi telah lewat. Burung-burung yang baka itu telah pasrah meleburkan dirinya dalam kefanaan. Tak seorang pun, tua atau muda, bisa menguraikan dengan tepat apa yang disebut baka dan mati itu. Seperti bilamana segala peristiwa jauh dari mata kita, bagaimana mungkin kita menguraikannya? Bila pembaca ingin penjelasan lebih jauh dengan amsal-amsal mengenai kebakaan yang terjadi setelah fana, aku akan menulis buku yang lain. Selama kita terbelenggu oleh benda-benda dunia, kita takkan sampai ke Jalan itu. Namun bilamana dunia tak lagi membelenggu, kau akan sampai seakan-akan memasuki dunia mimpi, dan akhirnya akan tahu bahwa kau mendapatkan rahmat yang tak terkira. Janin insan terpelihara dengan baik hanya oleh cinta dan kasih sayang sehingga kelak bisa menjadi orang yang pandai dan saleh. Pengetahuan inilah yang harus dituntut orang. Kemudian ajal datang dan segala yang kau miliki lenyap, tenggelam. Sehabis itu kau jadi debu jalanan. Berkali-kali seseorang itu fana; tapi bila orang berhasil mengetahui rahasia-rahasia kehidupan yang hakiki, akhirnya ia akan menerima kebakaan, dan akan mendapatkan kehormatan dalam keadaan hina. Tahukan kau apa yang kau miliki? Masuklah ke dalam dirimu dan bercerminlah! Selama kau tak paham akan ketiadaanmu, dan selama kau tak menyadari kebanggaan semu, kesombongan dan cintamu yang berlebih-lebihan pada dirimu sendiri, selama itu pula kau takkan mencapai puncak kebakaan. Di Jalan itu kau akan terjerumus dalam kehinaan, namun kemudian bangun penuh kehormatan.
(Abdul Hadi W. M. Sastra Sufi: Sebuah Antologi 1985)

[1] Thayr al-`uryan = burung yang faqir, tamsil bagi keadaan jiwa yang fana’ dalam cinta ilahi.
2 Sultani = Sultan adalah perumpamaan kepada Tuhan sebagai penguasa sekalian alam.
Unggas Sultani adalah jiwa seorang ahli makrifat yang diliputi pengetahuan ketuhanan.
[3] Nur al-rahmani = Cahaya Yang Maha Pengasih. Artinya mendapatkan cahaya ketuhanan.
[4] Subhani = Maha Terpuji Aku (Tuhan)! Ucapan teofani Bayazid al-Bhistami.
[5] Pingai = Indah keemasan.
[6] Bisai = elok, molek mempesona.
[7] Da’im = selalu, selamanya.
[8] Millat = tingkat pencapaiannya dalam agama.
[9] Musshaf = kitab. Kufi = nama huruf tegak dalam kaligrafi Arab, biasa ditulis dengan garis tebal.
[10] Habib Allah = gelar untuk Nabi Muhammad s.a.w.
[11] Alam Lahut = Alam ketuhanan.
[12] Da`irah Hu = Lingkaran Hu (Dia). Istilah untuk menyebut majlis zikir ahli tasawuf.
[13] Ha’il = rintangan, hijab, tirai.
[14] Bayn Allah dan bayn al-`amil = antara Tuhan dan orang yang amalnya baik.
[15] Angga = anggota badan. Maksudnya seluruh tubuhnya.
[16] Sha`im = berpuasa.
[17] Qa’im = menegakkan salat, maksudnya salat tahajjud. Na’im = tidur. Nafi dan isbat = penidakan dan peneguhan, maksudnya kalimah La ilaha ill Allah. La ilaha = naïf; ill Allah = isbat.
[18] `Ishq = cinta, berahi.

[19] Washil = dekat, hampir, menyatu.

HIKAYAT MUSANG BERJANGGUT

HIKAYAT MUSANG BERJANGGUT

Tertulislah pada zaman dahulu kala sebuah kerajaan Melayu bernama Negeri Parun. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Negeri Parun yang bijak dan dicintai rakyatnya. Namun, satu-satunya yang merisaukan hati beliau adalah ketiadaan pewaris, pengganti dirinya jika kelak turun tahta. Usia sudah menanjak tinggi, belum ada tanda-tanda Permaisuri akan memberi mereka seorang buah hati.

Maka berembuklah Raja dengan Permaisuri, dan bulat-sepakat bahwa mereka akan mencari anak angkat yang pantas dari kalangan rakyat Negeri Parun. Raja pun menjelajahi negeri untuk mencari bakal putra mahkota penggantinya kelak. Lama mencari, akhirnya Raja menemukan sosok anak angkat itu dalam sebuah keluarga miskin di ujung negeri. Suka hatinya melihat kanak-kanak dari keluarga melarat itu. Meski melarat, sopan mereka pada siapa saja. Baik bimbingan keluarganya, taat beragama, sehat badannya dan tidak gentar menantang mata Raja. Dengan izin dari kelurganya, maka diambillah dia, putra jelata itu, sebagai Putra Mahkota. Menjadi kesayangan Raja dan Permaisuri.

Anak itu bernama Tun Utama.

Meski tumbuh dalam keluarga kerajaan, dia tak diizinkan lupa pada muasal dirinya. Sesekali dikunjunginya orang tuanya di sudut negeri. Tahun-tahun berganti dan Tun Utama pun tumbuh dewasa. Seperti biasa para pangeran dalam cerita dimana-mana jua, jadilah dia kumbang yang diharap-harap kembang, diharap bunga-bunga untuk sudi memetik dan membawa si bunga ke istana.

Namun itulah yang merisaukan hati Raja. Usianya sudah menua, dan Tun Utama sudah tumbuh dewasa. Tetapi tak terlihat tanda-tanda bahwa Sang Putra Mahkota akan berumah-tangga. Pergaulannya dengan lawan jenis hanya sekilas mata, tak terlihat bahwa ada yang menarik di hatinya.

Bukan cuma Raja yang risau, para petinggi istana yang berkehendak anak-anak gadisnya menjadi permaisuri Tun Utama pun sudah tak sabar, hendak melihat siapa yang dipilih oleh Putra Mahkota di antara anak-anak gadis mereka. Dengan pengaduan mereka pula, maka kesabaran Raja pun sampai di titik nadir.

Dipanggillah Tun Utama ke balairung istana untuk disidang di satu hari. Dengan duduk bersimpuh dia menghadap Raja, di kiri-kanannya dilingkari para punggawa. Dan Raja pun, setelah berpantun kian-kemari mencucurkan hikayat dan nasihat, mengutarakan keprihatinannya soal jodoh Tun Utama.

Tun Utama pun sadar bahwa persidangan itu tak lain campur tangan para punggawa juga. Maka, setelah Raja memuji-muji gadis-gadis di lingkar istana, dia pun memberi jawaban yang membuat balairung terdiam. Jawaban semacam ini,

“Ampun beribu ampun, Tuanku. Bukan tak ada hasrat hati hamba untuk mempersunting seorang perempuan sebagai istri. Namun apa yang hamba cari tak ada di sini. Hamba mencari perempuan, ada pun semua gadis-gadis yang Tuanku sebut, di mata hamba bukanlah perempuan, melainkan betina saja adanya.”

Masam lah muka para punggawa, merasa malu pula Raja sebab ucapan yang dirasa menghina dari Tun Utama. Jelas-jelas Sang Putra Mahkota menolak memperistri salah satu dari gadis-gadis putri pembesar kerajaan langsung di balairung tersebut. Dengan menahan geramnya, Raja pun bertanya seperti apa kriteria “perempuan” dan apa pula maksudnya dengan kata “betina” terhadap gadis-gadis istana.

Tun Utama pun menjawab dengan ringkas,

“Seperti apa perempuan yang hamba cari, cukuplah hamba dan hati hamba saja yang tahu, Tuanku. Namun teranglah beda antara perempuan dan betina di mata hamba. Perempuan menjaga marwah, tapi betina menjualnya.”

Seisi balairung riuh. Para punggawa gusar dengan hinaan tersebut. Raja pun murka. Bangkit beliau dari tahtanya dan memberi ultimatum: Akan diberi kesempatan dalam 1 tahun kepada Tun Utama untuk mencari jenis perempuan yang disebutnya. Jika dalam tempo satu tahun Tun Utama tidak menemukan perempuan tersebut dan tidak membawanya pulang ke Negeri Parun, maka dia akan dipecat sebagai Putra Mahkota dan akan dihukum pancung.

Tun Utama menerima tantangan Raja. Dia mengundurkan diri dari balairung dengan rasa puas pada wajah-wajah marah para punggawa. Kejemuannya diusik oleh gadis-gadis kiriman orang tua mereka yang berhasrat hidup mewah sebagai permaisurinya, lunaslah sudah.

Pulanglah Tun Utama ke rumah keluarganya untuk mempersiapkan perjalanannya mencari perempuan dan bukan betina, seperti yang sudah dijanjikannya. Ibu kandungnya, dengan bercucur air mata menyesali sikap keras-kepalanya, membantu juga dengan memberikannya sekantung beras khusus untuk dibawa serta dalam perjalanannya, dan mengajarkan bagaimana cara membuat beras siap masak yang serupa.

Beras dalam kantung pemberian ibunya, beserta teknik pembuatannya itu, akan menjadi salah satu penguji perempuan sejati menurut Tun Utama. Beras demikian bukan beras biasa. Meski pun berasnya sama belaka dengan yang dimakan rakyat biasa, dalam kantung beras tersebut, segala bumbu, kacang, lauk-pauk, yang semuanya mentah, sudah bercampur-aduk. Sekilas melihat, orang dapur akan mengira beras tersebut sudah rusak, sudah terguncang dalam perjalanan sehingga sukar untuk dimasak.

Dalam perjalanannya, Tun Utama menjelajahi negeri tanpa membuka identitas dirinya. Ada beberapa kali dia bertemu rumah berisi anak gadis, yang dipintanya dengan sopan pada ahli keluarga untuk menginap. Alasannya sebagai musafir dan keramahan orang Melayu pada perantau asing, memudahkannya untuk menguji pencariannya. Setiap dia menginap, dengan sopan dia selalu menolak disajikan makanan orang rumah. Dengan beralasan sedang melakukan perjalanan nazar, maka disodorkannya beras kaul yang aneh tersebut. Setiap masakan tersaji, maka Tun Utama pun -dengan pura-pura sekedar bertanya- akan memancing pemberitahuan siapakah yang memasaknya.

Hingga lepas dari Negeri Parun, tak ada yang berkenan di hatinya, dan tak ada pula yng bisa memasak beras tersebut. Rumah pertama yang disinggahinya, yang berisikan satu anak gadis di dalamnya, dengan semena-mena membuang beras itu dan menggantinya dengan beras biasa. Lepas subuh, Tun Utama pun pamit dengan dipandang kecewa oleh si anak gadis dari jendela.

Rumah berikut yang disinggahinya di ujung negeri, dengan semena-mena pula anak gadisnya menunggingkan isi beras begitu saja untuk dimasak. Usai suapan pertama, Tun Utama langsung menyudahi makannya. Rasa-rasa berhimpit tenggorokannya dengan makanan tak bertakar serupa itu, makanan yang dimasak dengan kasar, sementah-mentah bawaan bekal.

Bulan-bulan berlalu, beras bekal ibunya sudah lama berganti dengan olahannya sendiri. Masih juga tak ditemukannya apa yang dicari. Hingga sampailah Tun Utama di pelabuhan ujung negeri lain. Hasrat hatinya hendak menyeberang laut, untuk mencari perempuan yang diimpikan. Namun tak ada kapal yang berani berlayar, sebab ombak sedang besar di lautan. Bekal keuangannya pun sudah menipis. Ada satu kapal disebut-sebut, namun tak sembarang orang bisa menumpang di kapal itu. Namanya Kapal Terus Mata

Di sana, di sebuah warung, bertemulah dia dengan Nahkoda Terus Mata. Nahkoda Terus Mata ini bawaannya kasar. Kalau bicara suaranya menggelegar. Anak buahnya ramai, dan wibawanya seperti kepala perompak yang disegani. Awal perkenalan mereka sendiri menegangkan. Tun Utama memasuki warung dan dengan tak merasa bersalah, menarik kursi kosong. Kursi kosong itu merupakan sebelumnya diduduki Sang Nahkoda yang sedang mabuk tuak, yang menari-nari di dekatnya. Jatuh terduduklah Sang Nahkoda di lantai karena mengira kursinya masih di tempat yang sama.

“Siapa monyetnya yang berani mengambil kursiku?!!”

Seisi warung hening memandang Tun Utama, seakan prihatin melihat calon mayat yang masih muda belia. Namun Tun Utama dengan cerdas dan tenang menjawab bahwa jika Sang Nahkoda masih duduk di kursi, tentu tak akan berpindah sendiri kursi tersebut. Kursi kosong adalah kursi tak berpenghuni, dan di warung sesiapa saja boleh duduk di kursi tak berpenghuni.

Nahkoda Terus Mata terpikat hatinya pada tutur dan keberanian Tun Utama tegak di depannya. Meski dia berkata, “Monyet kecil ini banyak bicara!” namun tak juga dikepalkan tinjunya. Diamat-amatinya sosok Tun Utama, yang dinilainya sebagai wajah terpelajar yang tak pantas berada di situ. Dia pun bertanya darimana dan hendak kemana rupanya Tun Utama.

Tun Utama pun mengutarakan keinginannya untuk berlayar ke negeri seberang. Namun karena bekalnya sudah sedikit, dia mohon dizinkan menumpang sambil bekerja di kapal Terus Mata. Nahkoda Terus Mata tertawa terpingkal-pingkal. Badan Tun Utama memang sehat, namun baginya tak cukup kuat untuk bekerja di kapalnya, Kapal Terus Mata yang tersohor di Selat Malaka. Namun, diberi juga izin olehnya dengan ejekan seumpama Tun Utama tak kuat, boleh dia menyerah melompat ke dasar laut.

Berlayarlah Tun Utama dengan kapal Terus Mata. Dalam perjalanan, lamban-laun makin simpati Sang Nahkoda pada Tun Utama. Kedekatan mereka berdua membuka rahasia tujuan Tun Utama yang membuatnya terheran-heran. Sebuah perjalanan mencari perempuan dan bukan betina yang tak masuk di akalnya. Bagi Nahkoda, semua perempuan adalah betina belaka, hanya berguna dipelihara untuk beranak dan memasak. Lain tidak. Namun, tak disembunyikan rasa kagumnya pada keras tekad Tun Utama hendak mencari perempuan yang diimpikan.

Pelayaran pun singgah di satu pelabuhan yang jauh. Negeri Pasir [jika aku tak salah ingat]. Pelabuhan itu kering dan sepi. Tak banyak kapal yang singgah. Tun Utama mencoba peruntungan terakhirnya dengan melompat turun dari kapal. Setahun hampir menjelang tiba. Jika tak juga di negeri itu dia bertemu apa yang dicari, akan ditunggunya kapal untuk kembali ke Negeri Parun, menerima hukuman yang sudah dijanjikan.

Dari pelabuhan, Tun Utama berjalan kaki memasuki pedalaman. Seharian berjalan, berkelok-kelok, dia pun berpapasan dengan seorang petani menjelang hari senja. Si Petani melihat Tun Utama termangu-mangu di persimpangan jalan. Terjadilah dialog yang masih segar kuingat-ingat begini:

“Anak ini darimana hendak kemana?”

“Hendak mencari rumah tak berdapur. Ada rumah tak berdapur di sekitar sini, Bapak?”

Bingung Si Petani dengan jawaban serupa itu.

“Rumah tak berdapur? Daripada mencari rumah tak berdapur, bukankah lebih bagus rumah berdapur?”

Tun Utama pun menyambut baik tawaran Si Petani untuk menginap di rumah beliau. Perjalanan ke rumah petani menjelang senja itu menghadirkan keheranan lain pada Si Petani. Sementara beliau membuka kasut saat memasuki lumpur, Tun Utama tak melepas kasutnya. Ketika melewati sebuah jembatan kecil, Tun Utama menyebut “Titian kera”. Saat melintas jalanan kecil setapak, disebut Tun Utama “jalan kelinci berlari”. Dan ketika melewati pohonan dimana kelelawar melintas-lintas, beliau terheran-heran melihat Tun Utama membuka payung meski hari tak hujan. Namun Si Petani tak bertanya apa-apa. Disimpannya semua pertanyaan di dalam dadanya.

Sampailah mereka di sebuah rumah di ujung desa. Rumah itu cukup luas namun terlihat lengang. Si Petani mempersilakan masuk, menyuruhnya mandi dan bersiap untuk shalat maghrib, sambil memberitahu bahwa di rumah itu cuma ada mereka bertiga: dirinya sendiri, istri dan anak gadisnya.

Pada malam hari selepas maghrib, seperti biasa Tun Utama pun menyodorkan “beras rusak” yang dibawanya itu dengan alasan nazar dalam perjalanan, kepada Si Petani. Seperti biasa adat Melayu zaman, dimana anak gadis tak bisa menampakkan diri pada tamu non-muhrim, maka yang ada cuma dia dan suami-istri pemilik rumah. Istri petani dengan terheran-heran membawa beras ke dapur, dimana seorang gadis bersiap menyajikan masakan. Sajiannya tertunda dengan “beras rusak” yang dibawa ibunya. Dengan heran dan penasaran dia bertanya-tanya siapa tamu yang dibawa ayahnya itu. Sebab, Si Petani rupanya bukan orang yang suka membawa orang asing ke rumah, jika tidak berkenan di hatinya. Mendengar gelak-tawa Tun Utama dan ayahnya dari ruang depan, kentaralah bahwa ada yang mengena di antara mereka.

Sementara ibunya menyuruh mengganti beras tersebut, Si Gadis menolak dan tersenyum-senyum melihatnya. Dia pun mengambil alat-alat masak, memisahkan bumbu yang bercampur-aduk dan mengolah kembali isi “beras rusak” tersebut agar bisa disajikan sebagai makan malam.

Ketika hidangan tersaji di depan Tun Utama dan Si Petani, terlihat tidak ada yang istimewa. Si Petani yang mengira isi beras berbeda dengan yang biasa mereka makan, menjadi heran meskipun diam saja melihat sajian “beras kaul” itu tak berbeda dengan apa yang tersaji untuknya.

Tun Utama sendiri, setelah suapan pertama, tercenung dengan penasaran. Masakan yang dimakannya membawanya serasa kembali ke Negeri Parun. Tak jauh beda dengan masakan ibunya. Kentara bahwa “beras rusak” tersebut sudah dimasak dengan semestinya.

Dengan gaya biasa, seakan sepintas lalu, Tun Utama pun memuji masakan istri Si Petani. Namun Si Petani dan istrinya menjawab bahwa masakan itu adalah masakan anak gadis mereka yang di dapur. Tun Utama kini menjadi penasaran. Ketika makan malam selesai, lepas sembahyang isya, saat rebahan di kamar tamu yang disediakan, ia menjadi bertanya-tanya seperti apa anak gadis Si Petani itu. Hingga terdengar olehnya mereka bercakap-cakap di ruang tak jauh dari kamarnya. Membicarakan dirinya.

Si Petani mengisahkan anehnya pemuda yang satu itu. Keheranannya dalam perjalanan pulang menjelang senja dituturkan kepada anak dan istrinya. Mulai dari pertanyaan tentang “rumah tak berdapur”, sebutan “titian kera” saat melintas jembatan serta “jalan kelinci berlari”. Juga keheranannya karena Tun Utama tak membuka kasut saat memasuki lumpur, serta berpayung saat hujan tak turun.

Anak gadisnya tertawa kecil dan balik menyalahkan ayahnya dengan menerangkan satu per satu maksud dari ucapan dan perilaku tamu ayahnya itu. Bahwa disebut “titian kera” dan “jalan kelinci berlari” adalah perumpamaan semata, karena jembatan kecil itu memang lincah dilewati kera, sementara jalanan setapak yang sempit memang seukuran tubuh kelinci meloloskan diri. Sementara alasan kenapa kasut tak dilepas adalah karena khawatir ada beling atau onak duri di dalam lumpur, berbeda dengan ayahnya yang sudah terbiasa melewati jalanan yang sama, orang luar tentu mesti berhati-hati.

Si Petani masih terheran-heran.

“Dan apa pula yang dimaksudnya dengan rumah tak berdapur itu? Mana ada rumah yang tak berdapur?”

Anak gadisnya mengerling riang.

“Semua rumah tentu berdapur, ayahanda. Rumah tak berdapur adalah mushala atau mesjid adanya. Tentulah dia hendak menumpang inap di sana.”

Si Petani tertawa faham, lalu kembali bertanya,

“Lantas apa pula maksudnya berpayung saat tak hujan?”

Anak gadisnya tertawa jenaka. Diterangkannya bahwa guna berpayung demikian adalah untuk menjaga agar kepala tak kena kotoran burung atau kelelawar yang melintas-lintas. Tergelaklah Si Petani dan istrinya, sementara Tun Utama takjub mendengar penjelasan anak gadis itu. Dan tersentak menciut ketika suara anak gadis itu terdengar kembali, seperti sengaja dikeraskan.

“Hanya beras rusak itu saja yang aneh. Sekilas rusak berguncang, tapi sepertinya sengaja dibuat untuk menguji-uji orang dapur.”

Ketika pagi berlalu, selepas shalat subuh, Tun Utama memutar pikiran mencari alasan agar bisa tinggal sedikit lama di rumah tersebut, untuk menuntaskan rasa penasarannya. Saat pagi tiba, dia bermangu di pinggir sungai dan memandangi takjub kincir air yang belum pernah dijumpainya dalam perjalanannya. Penasaran hendak melintas air sungai, dilompatinya bebatuan, hingga sebuah suara terdengar mengejutkannya. Suara yang berseru, “Hati-hati, Tuan… nanti…”

Terlambat. Tun Utama tercebur menginjak batu licin. Terkilir kakinya dan susah payah berenang ke pinggir sungai, dan ditarik ke darat oleh pemilik suara yang mengagetkannya itu. Seorang anak gadis rupawan yang baru pulang mencuci kain. Si Gadis meminta maaf karena mengagetkannya, namun Tun Utama tak mempermasalahkan soal itu. Apa yang membuat hatinya kaget adalah pengakuan bahwa gadis itu adalah anak dari Si Petani dimana dia menumpang.

Namanya, Siti Syarifah.

Dengan dipapah oleh Syarifah, pulanglah mereka ke rumah. Berpapasan dengan Si Petani yang di hari itu cepat pulag dari sawahnya. Kaget Si Petani melihat anaknya memapah pemuda asing yang menjadi tamunya, namun selepas dilihatnya kaki Tun Utama terkilir, dimintalah maaf olehnya dengan rasa tak enak hati karena tamu tercedera di rumahnya sendiri. Dipintanya Tun Utama bertahan sedikit lama sampai sembuh, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.

Tun Utama diam-diam girang bukan kepalang. Hari demi hari berlalu dalam masa penyembuhan kakinya. Dia pun sesekali berkomunikasi dengan Syarifah. Terkadang dari jendela dipandanginya anak gadis rupawan yang cerdas itu. Hingga saat kakinya sembuh, dia pun mengutarakan keinginan untuk berangkat pada Si Petani.

Di lapak makan malam, di bentangan tikar, suasananya tergambar sepi. Suami istri Petani yang sudah suka dengannya, tampak sedih. Demikian pula dengan Tun Utama. Ketika makan malam usai, Tun Utama beringsut menghadap Si Petani. Mengutarakan sekali lagi bahwa dia akan pergi dari negeri tersebut, namun dengan membawa serta Syarifah sebagai istri. Jika segenggam mas kawin untuk Syarifah tidak berarti apa-apa, dia akan tetap pamit juga, dengan membawa dirinya sendiri.

Sementara Si Gadis yang sudah jatuh cinta menangis di kamarnya, di rangkulan ibunya, mata Si Petani berkaca-kaca. Mendapatkan menantu memang sudah lama diidamkannya, namun anak gadisnya terlalu keras kepala. Dan kini Si Gadis sudah dipinta oleh orang muda yang mereka suka. Tak menjadi masalah baginya, namun tentu putusan ada pada Syarifah jua.

Ketika Si Petani pamit untuk bertanya, istrinya mencegat di depan pintu kamar Si Gadis. Menggeleng pertanda tak perlu bertanya apa-apa lagi. “Tunggu apa lagi? Terima saja! Anak kita sudah setuju!”

Pernikahan pun dilangsungkan. Ternyata Si Petani adalah mantan pimpinan laskar kerajaan negeri itu dahulunya. Besar namanya maka meriahlah pesta. Undangan datang dari mana-mana. Sementara kerahasiaan identitas Tun Utama pun kemudian dibuka hanya pada istri dan mertuanya saja. Ternyata curiga-mencurigai sudah lama ada di antara mereka. Sejak senja dia tiba di rumah tersebut hingga beras penguji orang dapur. Syarifah tak merasa heran dengan status pangeran Tun Utama, sudah lama dia curiga pemuda itu bukan pemuda bisa. Lagi pula, jia pun bukan itu adanya, dia sudah terpikat sejak “beras rusak” ditumpahkan untuk disukat.

Sementara Tun Utama mengakui bahwa jatuh ke sungai lalu terkilir adalah sakit. Tapi jatuh hati di hari itu adalah pengobatnya. Jadi, penyesalan Syarifah di hari itu tak jadi masalah. Karena siapa yang jatuh siapa yang menjatuhkan? Hati mereka juga jadinya.

*aww… cuiit… cuiit!*  

Setelah beberapa lama Tun Utama memperpanjang masa tinggalnya dengan keluarga barunya, bersiap-siaplah dia kembali ke Negeri Parun. Dengan izin dari ibu dan bapak Siti Syarifah, keluarlah mereka sekeluarga dari negeri itu menuju pelabuhan.

Pernikahannya dengan Siti Syarifah yang cantik rupawan, ternyata sudah mengundang dengki seorang pemuda negeri tersebut. Anak orang kaya bangsawan yang sudah berkali ditolak oleh Syarifah lamarannya. Si Jambat, namanya. Sudah berbini dua masih hendak menambah Syarifah jauh sebelum Tun Utama tiba. Maka alangkah kesal hatinya, orang asing mencuri gadis idamannya. Kepergian Tun Utama dan Siti Syarifah pun diikutinya dengan membawa beberapa tukang pukulnya. Didahuluinya Tun Utama, memotong jalan ke arah pelabuhan, untuk merembukkan rencana. Di sana, bertemulah Si Jambat dengan Nahkoda Terus Mata yang sedang singgah. Dengan segera dia membayar dan naik untuk ikut kapal menuju pelabuhan lain dimana dia akan menanti Tun Utama dan Syarifah. Tun Utama dan Siti Syarifah pun bertemu kembali dengan Nahkoda Terus Mata.

“Coba kulihat! Bukankah ini monyetku yang cerdas, Tun Utama?” teriak Nahkoda Terus Mata.

Tun Utama mencari asal suara yang sudah dikenalnya. Melihat bekas induk semangnya, dengan takzim disalaminya juragan kapal yang kasar tapi baik hati itu. Nahkoda Terus Mata pun bertanya dengan kalimat kasarnya, apakah Tun Utama sudah mendapatkan perempuan yang dicari ataukah betina seperti kebanyakan. Tun Utama mengangguk dan memperkenalkan mertuanya serta istrinya kepada Nahkoda Terus Mata. Sang Nahkoda dengan cengiran kasar hanya sekedar saja menyalami ibu dan bapak Syarifah. Namun sikap kasarnya menguap seketika berhadapan dengan Siti Syarifah. Dengan kikuk disalaminya istri Tun Utama tersebut.

Ketika kapal mengangkat sauh, dan anak-beranak sudah melepas pelukan, Nahkoda Terus Mata mendekati Tun Utama dan berucap pelan,

“Jangan kau hiraukan ucapanku soal perempuan itu. Ucapanku itu cuma berlaku bagi perempuan kebanyakan. Tapi istrimu itu, jenis satu dalam seribu. Wajib kau jaga selama hidupmu.”

Tun Utama tergelak. Di balik perangai kasarnya, Nahkoda Terus Mata memiliki kejujuran yang sangat langka. Maka diceritakanlah olehnya bagaimana dia bertemu dengan Syarifah. Perkenalan yang dimesrakan oleh peristiwa jatuh di sungai, ketika dia tercebur basah dan ditolong oleh Syarifah; yang diolok-olok Nahkoda dengan pertanyaan jenaka, “Siapakah yang tertangguk di sungai itu? Ikan di dalam sungai ataukah penangguknya?”

Dalam perjalanan itu, makin kagumlah Nahkoda pada pilihan Tun Utama. Syarifah tak segan bersama suaminya belajar mengemudi kapal. Sekali waktu Nahkoda Terus Mata bertanya, “Beratkah rasanya, Puan Syarifah?” Siti Syarifah mengangguk tertawa di balik roda kemudi. “Rasakanlah beratnya kemudi kapal itu, Puan Syarifah. Tapi seberat-berat kemudi kapal Terus Mata, bagiku lebih berat mengemudi bahtera rumah tangga. Kalau itu aku jelas menyerah!” gelak Nahkoda Terus Mata.

Jawaban Syarifah yang lincah membuat Nahkoda Terus Mata tertawa kagum, ketika Syarifah menganalogikan bahwa seperti kapal yang berjalan karena kerjasama awaknya, dengan nahkoda, awak kapal, dan mualim, maka seperti itu pula bahtera rumah tangga bisa dikemudikan.

“Istrimu itu benar-benar jenis yang harus kau lindungi dengan nyawamu. Kalau tidak, berdosa besar engkau!”

Demikian desis Nahkoda Terus Mata pada Tun Utama yang berjanji akan menjalankan amanah Nahkoda tersebut.

Perjalanan pun akhirnya tiba di pelabuhan ujung Negeri Parun. Dari sana, Tun Utama memutuskan untuk berkuda berdua saja dengan Siti Syarifah, karena menunggu kapal langsung ke Negeri Parun akan memakan waktu lama. Mereka pun berpisah dengan janji akan bertemu kembali.

Sementara itu, Nahkoda Terus Mata mengajak tamu-tamunya yang menumpang kapalnya, rombongan Si Jambat, untuk bersenang-senang sebentar di warung di pelabuhan. Namun Si Jambat menolak halus dan berkata ada urusan seronok hendak diselesaikan di daratan. Mereka pun berpisah dengan sorot mata heran Nahkoda Terus Mata.

Tujuan Si Jambat pun tercapai sudah. Di satu jalan sepi pada malam esoknya, dapat juga dikejarnya Tun Utama dan Siti Syarifah. Dengan tukang pukulnya mengeroyok Tun Utama, dikejarnya Siti Syarifah -yang disuruh lari dengan kuda oleh Tun Utama. Siti Syarifah tertangkap, dan dengan segera dibawanya ke satu warung di pelabuhan ketika hari sudah beranjak larut malam. Dalam tawa cekikik wanita-wanita penghibur, dia disambut oleh kenalan-kenalannya di sana.

“Barang baru itu, Jambat?”

Jambat tergelak-gelak merangkul Syarifah yang berikat tali.

“Barang baru. Masih ganas, perlu dijinakkan!”

Demikian kata Si Jambat, dan menyuruh anak buahnya mengamankan Syarifah ke pojok warung dimana teman-teman kenalannya sedang bersuka.

Lalu satu suara menggelegar bertanya,

“Boleh kulihat barang barumu itu, Jambat?”

Tercekat hati Si Jambat. Suara menggelegar itu tak lain adalah suara Nahkoda Terus Mata. Dengan segan, Si Jambat pun mempersilakan Nahkoda Terus Mata mendekati Siti Syarifah.

Sang Nahkoda menatap lekat Siti Syarifah yang air matanya mencucur basah meski tak ada isak tangis terdengar. Dengan tenang dirapikannya rambut Syarifah yang berantakan, disekanya air mata perempuan yang dihormatinya itu, dan dirapikan kerudungnya yang terkulai di tengkuk. Dalam penerangan lampu warung dia berpaling ke seisi ruangan, memperlihatkan wajah Siti Syarifah.

“Perhatikanlah, Kawan-kawan. Perempuan seperti ini hanyalah satu di antara seribu. Tak akan mudah kau temui dimana pun juga.”

Lalu dengan geram ia berpaling kepada Si Jambat,

“Jadi ini urusan seronok yang kau katakan itu, Jambat?”

Si Jambat baru hendak menjawab, namun tinju Nahkoda Terus Mata sudah mematahkan batang hidungnya. Dengan marah Si Jambat mencabut goloknya, diikuti oleh teman-temannya, dan berteriak mengatakan betapa Nahkoda Terus Mata rupa-rupanya belum kenal siapa dia.

Nahkoda Terus Mata tertawa sinis. Dengan satu gerakan tangan memberi isyarat, terdengarlah bunyi senjata tajam dicabut dari seisi ruangan. Jumlah pengikut Nahkoda Terus Mata rupanya jauh lebih banyak dari gerombolan Si Jambat. Nahkoda Terus Mata pun memberi ultimatum: Jika Si Jambat tak memberi tahu dimana Tun Utama, isi benaknya akan dihamburkan di situ juga.

Sadar kalah dukungan, Si Jambat pun melarikan diri. Nahkoda Terus Mata melepas Syarifah dan bertanya kabar Tun Utama, lalu menitipkan Syarifah pada beberapa anak buahnya dan memutuskan untuk membagi dua rombongan. Satu mencari Si Jambat dan satunya mencari Tun Utama.

Pencarian Tun Utama pun sukses dilakukan. Di jalan lengang menuju ke arah lokasi penghadangan Tun Utama, bertemulah mereka. Tun Utama rupa-rupanya sudah menewaskan para pengeroyoknya, meski badannya sendiri luka-luka, dan mengambil kuda salah satu dari mereka untuk mengejar Si Jambat. Heran Nahkoda Terus Mata, dengan apa Tun Utama melawan, sementara dia tak bersenjata. Ternyata payung yang selalu dibawa Tun Utama, jika ditarik di gagangnya, akan mengeluarkan sebilah pedang tipis yang tajam.

Setelah Tun Utama bertemu dengan istri, Nahkoda pun memutuskan bahwa mereka mesti segera berangkat, langsung ke Negeri Parun. Penolakan Tun Utama dengan kekhawatiran urusan barang niaga di kapalnya akan terlantar, ditampiknya mentah-mentah. Dia bersikeras untuk mengantar mereka sendiri sampai selamat ke Negeri Parun.

Dalam perjalanan berlayar, di saat Tun Utama jatuh sakit di kapal, barulah Nahkoda Terus Mata tahu bahwa bekas anak buahnya itu adalah putra mahkota Kerajaan Negeri Parun.

Singkatnya, kepulangan mereka pun disambut gembira. Raja dan Permaisuri yang sudah lama menanti, sudah gelisah karena tahun akan berganti, berseri-seri menyambut Tun Utama dan Siti Syarifah. Di balairung istana, saat Tun Utama mengenalkan istrinya, seluruh mata terpesona. Meski tak paham seperti apa perempuan dan bukan betina yang dimaksudkan Tun Utama, namun mereka paham bahwa Siti Syarifah memang terlihat berbeda dengan gadis-gadis istana. Pesta pun digelar dan seisi negeri diundang bersuka.

Ketika hari-hari berlalu, makin terlihat sosok Syarifah yang menarik hati. Anak-anak suka bermain di dekatnya, mendengarnya bercerita. Rakyat pun suka dengan calon permaisuri di masa depan yang ramah pada mereka. Istri Tun Utama menjadi buah bibir, dari desa hingga ke istana. Semua orang jatuh cinta padanya. Sekedar mengagumi atau memang jatuh cinta, seperti yang dirasakan oleh beberapa punggawa istana yang mencoba meraih simpati Siti Syarifah, dan bahkan… Raja.

Di sinilah skandal istana bermula.

Raja yang dilamun asmara, kemudian merasa badannya tak sehat. Sudah beberapa tabib diundang untuk mengobatkan, tapi tak juga beliau merasa badannya sehat kembali. Hingga satu hari Tuan Kadi, jabatan salah satu punggawa yang berurusan dengan soal perkawinan, mengabarkan kepada Raja sebuah mimpinya: Obat kesembuhan Raja adalah seekor musang berjanggut.

Namun dimana akan dicari musang berjanggut?

Semua orang tertawa mendengarnya, meski Tuan Kadi Istana serius bercerita. Mencari seekor musang berjanggut adalah seperti mencari kuda bertanduk. Bisa habis usia baru bertemu.

Namun mimpi tersebut rupa-rupanya mendatangkan akal bagi mereka. Semua seperti berpikiran serupa: Inilah saat memisahkan Tun Utama dan Siti Syarifah, sehingga bisalah salah satu dari mereka merayu-cumbu Siti Syarifah barang semalam saja, hendak pula bisa selama-lamanya. Tentu saja pikiran demikian cuma tersimpan dalam hati masing-masing punggawa istana dan juga Raja.

Maka dipanggil lah Tun Utama menghadap. Dengan menyinggung tekadnya yang keras karena telah berhasil membawa pulang perempuan yang bukan betina, diharapkanlah kesediaannya untuk mencari pula musang berjanggut, demi kesembuhan Raja. Tun Utama, meski terheran-heran, menyanggupi perintah Raja, bahkan ketika hukuman pancung jika gagal diancamkan kepadanya. Raja, dengan desakan dari para punggawa, menitahkan agar Tun Utama berangkat hari itu juga.

Pulanglah Tun Utama ke rumah. Diceritakannyalah kepada Siti Syarifah permintaan Raja itu. Siti Syarifah terheran-heran dengan obat yang aneh itu. Dicegahnya Tun Utama berangkat, karena selain aneh, ada naluri lain terasa olehnya. Namun Tun Utama bersikeras juga hendak melaksanakan amanah.

“Jika ada ular beranak, mana tahu ada pula musang berjanggut.”

Siti Syarifah mengalah. Namun meminta Tun Utama menunda barang semalam, karena ada sesuatu yang hendak ditunjukkannya jika sangkanya benar. Dimintanya agar Tun Utama mengabarkan ke istana bahwa dia akan berangkat sore itu.

Mata-mata istana bergerak-gerak di sekitar rumah. Begitu terlihat Tun Utama keluar meninggalkan rumah, sampailah kabar ke istana bahwa memang sudah berangkat Tun Utama mencari musang berjanggut akan pengobat Raja.

Tak lama berselang, langsung tiba utusan Raja memberitahu pada Siti Syarifah, bahwa jika tak ada halangan Raja hendak bertamu ke rumah selepas isya. Siti Syarifah mengangguk dan berkata bahwa dia akan menunggu sekitar pukul sepuluh malam. Selepas utusan Raja, datang pula utusan Kadi Istana, mengabarkan bahwa Kadi hendak datang bertamu karena ada urusan penting. Siti Syarifah menyanggupi, dan memberi waktu selepas maghrib. Lalu datang lagi utusan Datuk Tumenggung, mengabarkan bahwa Datuk Tumenggung hendak bertamu. Siti Syarifah menyanggupi dan memberitahu bahwa hendaklah Datuk Tumenggung datang selepas isya. Lalu berturut-turut datang utusan Datuk Bendahara dan utusan Datuk Laksamana dengan hajat bertamu yang sama. Siti Syarifah pun berjanji menunggu dengan waktu yang diaturnya setengah sampai satu jam dari utusan terakhir.

Ketika hari senja, selepas shalat maghrib, dengan mengendap-endap Tun Utama masuk dari pintu belakang rumah mereka. Dengan jenaka Siti Syarifah menyuruhnya bersembunyi di loteng rumah. Dengan terheran-heran Tun Utama menuruti permintaan istrinya.

Ternyata Tuan Kadi Istana tak sabar menanti. Belum lagi maghrib berlalu, sudah terdengar ketukan di depan pintu. Siti Syarifah mempersilakan Tuan Kadi masuk, bahkan menyuruhnya menyembunyikan kasut di dalam rumah. Merasa sambutan begitu ramah dan hangat, Kadi Istana berbunga-bunga. Dengan sabar dia menanti Siti Syarifah yang meminta izin hendak ke dapur, akan membuat sajian untuknya. Pada kenyatannya, Siti Syarifah berpura-pura sibuk di dapur. Dipercik-perciknya air ke minyak mendidih sehingga terdengar seperti orang sedang memasak.

Perasaan berbunga-bunga Kadi Istana terusik dengan suara salam yang sudah dikenalnya di pintu rumah. Datuk Tumenggung datang bertamu. Dengan panik Kadi mencoba hendak lari bersembunyi, namun Siti Syarifah cekatan menarik tangannya dan membujuknya untuk bersembunyi di dalam peti besar berukuran lebar, yang terletak di ruangan itu. Tak pikir panjang, Kadi melompat masuk ke dalam peti, tanpa mengetahui bahwa Siti Syarifah tersenyum-senyum mengunci peti tersebut dan beranjak membuka pintu untuk Datuk Tumenggung.

Apa yang mengherankan Tuan Kadi adalah makanan lengkap di dalam peti yang berongga-rongga sehingga seisi ruang terlihat jelas jika diintipnya.

Sementara itu, Datuk Tumenggung yang sudah berbirahi dielakkan Siti Syarifah dengan trik yang sama seperti terhadap Tuan Kadi, membiarkannya berbunga-bunga menanti Siti Syarifah menyajikan masakan untuknya. Dan selepas itu, Datuk Tumenggung pun tersenyum mesum sendiri dengan khayalannya, sampai suara ketukan di pintu terdengar dengan salam yang sudah dikenalnya. Datuk Laksamana!

Gusar dan panik, Datuk Tumenggung pun berniat lari. Namun dengan sigap Siti Syarifah yang berpura-pura heran menunjukkan lemari di ruangan itu. Tak banyak pikir, masuklah Datuk Tumenggung ke dalamnya.

Demikianlah. Satu persatu dikerjai oleh Siti Syarifah. Yang paling naas adalah Datuk Laksamana. Dengan mesumnya dia bertelanjang dada selagi Syarifah di dapur. Eh, sedang asyik dia berfilosofi, “ibarat gulai di tangan, tak akan lari kemana jika bukan ke mulut juga” terhadap Siti Syarifah yang ranum di dapur sana, suara Datuk Bendahara terdengar. Gemetar ketakutan dia mencari tempat bersembunyi. Siti Syarifah, dengan menahan tawa, mengatakan tak ada tempat bersembunyi di rumah itu. Tak ada pintu lain. Namun jika Datuk Laksamana mau, bisa berpura-pura menjadi patung di sudut ruangan, di sebelah lemari. Cukuplah dengan memegang setalam buah-buahan dan berdiam diri, tak akan terlihat nyata di ruangan dengan pelita yang sudah meredup cahayanya.

Datuk Laksamana pun bertindak sesuai anjuran. Di sudut sebelah lemari, dimana Datuk Tumenggung bersembunyi, dia berpura-pura menjadi arca. Diam tak berkutik ketika Datuk Bendahara masuk ke dalam rumah.

Lalu Datuk Bendahara pun kena. Sedang mesra berkhayal, sempat terheran-heran melihat patung mirip-mirip Datuk Laksamana di sudut dekat lemari, suara Raja terdengar bertandang. Imajinasi mesumnya buyar seketika. Siti Syarifah pun menunjukkan kolong meja di dekat mereka, sebuah meja bertutup kain. Sigap Datuk Bendahara masuk ke kolong meja, mengintip Raja yang masuk dengan dituntun mesra oleh Siti Syarifah.

Tak seperti yang lainnya, Raja menolak disajikan makanan. Dengan duduk berdekatan, dicobanya merayu-rayu menantunya itu perlahan-lahan. Bercerita tentang sakitnya dan betapa dia merindu ingin bertemu Siti Syarifah.

Siti Syarifah mendengar takzim layaknya anak menantu terhadap mertua. Namun, rupa-rupanya Sang Raja sudah mulai nakal menyentuh-nyentuh lengannya. Siti Syarifah tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa dia hendak bermanja dengan Raja. Jika sudi, Raja dimintanya menjadi kuda. Raja tertawa gembira, merasa menantunya sedang memberi pertanda, dengan segera dia pun berlutut dan bergaya seperti kuda. Siti Syarifah tertawa dan meminta Raja tidak berposisi kuda seperti biasa, dengan kaki dan tangan masih di lantai, tapi hendaklah mengangkat ujung tangan dan ujung kaki sehingga cuma tersisa lutut dan siku saja sebagai kuda-kuda. Raja mengalah dengan perkiraan bahwa ini hanyalah trik Siti Syarifah untuk bermanja. Meski siku tangannya dan lututnya terasa sakit, namun ketika Syarifah sudah duduk di punggungnya, seakan-akan sedang naik kuda dengan duduk menyamping, senanglah hati Raja.

Para punggawa terhenyak di persembunyian masing-masing. Raja Negeri Parun yang disegani lawan dan dihormati kawan, menjadi kuda yang dinaiki seorang perempuan, tanpa sadar sedang ditonton oleh petinggi-petinggi istana. Oleh Datuk Bendahara yang kepanasan di kolong meja. Oleh Datuk Laksamana yang sudah pegal-pegal tangannya berpose sebagai sebuah arca. Oleh Datuk Tumenggung yang kelaparan di balik lemari. Dan oleh Tuan Kadi yang merasa paling beruntung di peti dengan makanan dan minuman tersaji.

Setelah satu kali keliling ruangan itu, Raja menyerah. Siku-siku kaki dan tangannya sakit semua. Baru saja mereka berhenti dan Syarifah hendak mengambilkan air, sebuah tangan mengacaukan segalanya. Tangan itu adalah tangan Datuk Tumenggung yang kelaparan. Dengan diam-diam Datuk Tumenggung membuka lemari. Melihat ada buah-buahan di talam yang dipegang oleh “arca tembaga mirip-mirip Datuk Laksamana”, tangannya pun menjulur. Bukan buah-buahan terpegang olehnya, namun batang hidung Datuk Laksamana. Datuk Laksamana pun berteriak kaget, dicampaknya talam buah-buahannya, terkena pelita dan padam. Datuk Tumenggung yang terkejut terbentur pintu lemari keningnya. Sementara Datuk Bendahara, melihat peluang melarikan diri, mencoba keluar lekas-lekas dari kolong meja, dan terbungkuk-bungkuk punggungnya membentur sisi meja. Panik seisi ruangan, mencoba kalang kabut melarikan diri, seketika menyadari bahwa bukan satu dari mereka ada di sana. Dalam gelap malam berdesak dan berpencar mereka, juga Raja, kabur dari pintu depan. Kasut tercampak berhambur dan hilang mereka dalam kegelapan malam.

Siti Syarifah pun menyalakan kembali pelita dan memanggil suaminya turun dari loteng. Tun Utama, dengan tawa terpingkal-pingkal mendapat tontonan gratis, turun dan memeluk istrinya. Lalu bersama mendekati peti dimana Tuan Kadi bersembunyi.

Berteriak-teriak Tuan Kadi meminta Tuan Putri Syarifah membukakan peti tersebut.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Tuan Kadi. Bukankah cukup makanan dan minuman di situ?”

Sadarlah Tuan Kadi, bahwa dirinya sudah terjebak. Tadi dikiranya dia yang paling beruntung, namun kini jelas bahwa dia yang paling sial dari antara semua. Tun Utama, dengan tersenyum-senyum bertanya, apakah mimpi soal musang berjanggut memang mimpi ataukah rekaan saja. Tuan Kadi bersumpah bahwa soal musang berjanggut memang mimpi adanya. Bukan sekali-dua datang padanya, sebagai obat kesembuhan Raja. Namun, Raja dan kemudian mereka semua, dengan pikiran masing-masing, memperalat mimpi tersebut.

Tun Utama meminta Tuan Kadi bersabar, karena esok mungkin semua ada hikmahnya.

Esoknya, sampailah kabar di istana bahwa Tun Utama sudah kembali membawa musang berjanggut. Seisi negeri kaget dan berbondong-bondong ke istana menanti musang berjanggut yang sudah ditangkap oleh Tun Utama. Di balairung istana, Raja dan segenap pembesar kerajaan -minus Tuan Kadi- sudah berkumpul. Mereka menatap tak percaya ketika sebuah peti besar dibawa dua prajurit istana, dengan Tun Utama datang menghadap mengabarkan bahwa sudah berhasil ditangkapnya musang berjanggut untuk kesembuhan Raja. Dengan beringsut mundur Tun Utama mempersilakan diperiksa isi peti tersebut, adakah benar musang berjanggut atau bukan.

Dari singgasananya, entah karena takut atau merasa bersalah, Raja menyuruh punggawanya satu demi satu memeriksa isi peti, sebelum dia nanti melihatnya sendiri.

Majulah Datuk Bendahara. Ketika dibukanya peti tersebut, terkejutlah ia melihat Tuan Kadi meringkuk di dalamnya.

“Apa yang Tuan Kadi lakukan di dalam peti ini?”

“Melihat Datuk Bendahara mengganggu istri orang. Bagaimana kabar punggung Datuk? Masih sakit membentur meja?”

Datuk Bendahara terdiam. Dia pun beringsut mundur, menutup peti dan berkata kepada Raja.

“Memang benar ini musang berjanggut, Tuanku.”

Lalu maju pula Datuk Tumenggung. Reaksinya sama kaget dengan Datuk Bendahara.

“Celakalah kita! Kenapa bisa begini, Tuan Kadi?”

Kadi Istana menjawab kecut sambil menunjuk kening Datuk Tumenggung.

“Tanyakanlah pada kening Datuk yang bengkak itu.”

Datuk Tumenggung mundur dan menunduk malu. Lalu mengangguk kepada Raja.

“Benar Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya.”

Berikutnya majulah pula Datuk Laksamana. Tak kalah pula kagetnya Datuk Laksamana melihat isi di dalam peti. Mendesis-desis ia berbisik,

“Astaga! Malang nian nasibmu, Tuan Kadi!”

Tuan Kadi tersenyum,

“Setidaknya lebih beruntung daripada menjadi patung tembaga, Datuk Laksamana.”

Datuk Laksamana terpukul mundur. Ditutupnya peti dan tegak menghadap Raja.

“Bagaimana, Laksamana?”

Datuk Laksamana menjawab,

“Tak diragukan lagi, Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya. Jenis yang suka mengganggu ayam orang.”

Merasa penasaran, Raja pun turun dari singgasana mendekati peti. Dibukanya peti dan terhenyaklah ia melihat wajah Tuan Kadi menunduk malu di dalam peti. Mendesis Raja tak percaya:

“Tak kusangka semalang ini nasibmu, Kadi!”

Kadi istana menunduk dan menjawab,

“Beruntunglah hamba tidak dijadikan kuda tua untuk ditunggangi, Tuanku.”

Raja terdiam lama di sisi peti tempat bersemayamnya Tuan Kadi. Sadarlah dia kini, bahwa ini semua adalah pembalasan dari Tun Utama dan terutama Siti Syarifah yang cerdik-jenaka. Sebuah pelajaran yang menyadarkan orang-orang tua seperti dirinya dan para punggawa istana.

Raja menutup peti tersebut, dan menepuknya tiga kali. Lalu mengumumkan bahwa benar adanya isi peti tersebut adalah musang berjanggut.

Di akhir cerita, Raja dan semua punggawa mengundurkan diri, setelah meminta maaf kepada Tun Utama dan Siti Syarifah serta berterimakasih atas cara mereka mengajar tanpa mempermalukan orang-orang tua yang khilaf tersesat nafsu. Nahkoda Terus Mata yang sempat dimintai bantuan mencari obat oleh Tun Utama pun datang, dan mengabarkan nasehat dari tabib jauh bahwa obat kesembuhan Raja cuma ada dalam dirinya sendiri.

Tun Utama diangkat menjadi Raja bersama Siti Syarifah sebagai permaisuri istana. Selain dari mereka, tak pernah ada yang tahu rupa musang berjanggut sesungguhnya, bahwa musang berjanggut itu tak lain Kadi Istana yang memang berjanggut segenggam tangan, sebagai amsal sebuah perilaku tercela dalam agama dan adat-istiadat. Peti “musang berjanggut” itu pun dinyatakan sebagai harta istana. Disimpan sebagai pelajaran. Menjadi hikayat makrifat turun-temurun.

* * *

Terlalu panjang?

Hikayat Musang Berjanggut ini adalah cerita Melayu yang terserak dalam beragam versi. Sementara versi yang kuceritakan di atas adalah versi Melayu Deli, ada versi-versi lain pula. Seperti versi yang pernah difilmkan di negeri jiran, salah satu versi terkenal dari sederet film yang pernah dibintangi oleh P. Ramlee. [Lihat sinopsisnya dalam ringkasan film-film beliau.].

Di Indonesia, adaptasi Hikayat Musang Berjanggut ke dalam film sudah pernah dilakukan juga. Film dengan judul Musang Berjanggut itu dimunculkan pada tahun 1983, dengan disutradarai oleh Piet Burnama dan dimainkan oleh sederet artis ternama di masanya, seperti: Roy Marten, Rini S. Bono, Benyamin S., Farida Pasha, Soekarno M. Noor, Rina Hasyim, Ateng dan Iskak. Versi Indonesia inilah yang merupakan adaptasi dari versi yang kuceritakan di atas, karena diambil dari versi Melayu Deli yang dikomikkan oleh Taguan Hardjo. Pernah juga dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun 2002, dengan sosok Siti Syarifah diperankan oleh Tamara Bleszynski.

Keseluruhan Hikayat Musang Berjanggut di atas itu, kuketik ulang dengan mengandalkan ingatan saja. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak meninggalkan bangku SMP, sudah lama aku tak membaca cerita itu lagi, maka harap dimaklumi jika panjang jadinya postingan ini. Jika di komiknya sendiri, ceritanya mudah dipahami karena ada gambar, maka dengan mengandalkan ingatan saja, semua gambar dan deskripsinya mesti dinarasikan dengan bentuk tulisan begini

Hikayat Musang Berjanggut ini memiliki kesan tersendiri. Bahkan rela buang waktu dari subuh kemarin hingga sepanjang malam ini untuk bikin satu postingan begini. Mungkin bisa disebut sebagai tolok ukur tersendiri untuk cenderung tidak gampang menerima urusan asmara dengan perempuan. Dari sinilah mencuat istilah yang dianggap kolega dan adik angkatan sebagai kuotasi lawasku di jaman sekolah dahulu, bahkan hingga terbawa ke bangku kuliah: Perempuan yang 1 di antara 1000.

Kalau kata teman sehaluan-sebangku-sekolahan, “Mesti ketemu yang mampu bikin jantung mendebar, baru kita bawa sirih sehampar.”

Tapi pertanyaan tentang “urusan itu” selalu memburu-buru. Rasa penasaran kolega dan keluarga bertanya (meniru nada kuis lawas Aom Kusman) “Oh oh, siapa dia?” yang akan dipersunting kelak, menjadi sebuah pertanyaan klise dan monoton. Bahkan ketika kemudian terdeteksi siapa binti siapa pernah hadir berupa-rupa.

Kondisi demikian tak selalu enak. Dekat dengan sejumlah perempuan itu selalu berujung pertanyaan demikian. Dari pertanyaan, “Kapan jadian?” sampai pernyataan “Ditunggu undangan!”. Anda yang laki-laki bisa letakkan diri di posisi macamku ini, maka Insya Allah, kata sombong, pemilih, sampai belagu bisa jadi tudingan biasa. Apalagi dari kalangan sepupu dan kolega sejawat.

Pacaran? Hubungan macam apa itu? Selepas SMU, tak pernah sekali juga ada status begitu kulekat-lekatkan pada diri sendiri. Konsep pacaran terlalu rumit dan lebih belagu daripada belagunya hidup begini. Setiap hubungan cuma ada dua pilihan: Kawan atau Kawin. No pacaran needed. Setiap hubungan, nikmati sebagai kawan. Komitmen jelaskan, tegaskan. Kalau Kawan, ya kawan. Kalau kawin ya kawin. Pacaran? Dengan ritual apel-mengapeli tanpa buah apel sama sekali, dengan telepon-menelepon, rindu-merindu, dalam skedul-skedul waktu tertentu? Bah! I don’t believe in that sh!t.

Karena, masalah yang satu itu -masalah kawan pilihan peneman hidup- seumpama memilih baju juga adanya. Jika tak cocok di badan, tak bisa dipaksakan. Terlalu kecil, badan sempit rasa tercekik seumur hidup. Terlalu lebar, bisa jadi kedodoran. Bukankah agama juga mengisyaratkan begitu adanya, bahwa dua sejoli itu adalah pakaian yang saling menutupi satu sama lain?


Apapun… Hikayat ini memang merupakan salah satu cerita terbaik dari masa kanak-kanakku dulu. Sebuah hikayat dari masa bocah, sampai jadi remaja lalu memasuki usia dewasa, yang telah mengajarkan seperti apa jadinya bikin pilihan menjadi tampak terlalu idealis™ di mata yang lain. Tentu tak luput nilai-nilai moral peradaban Melayu dahulu kala, yang dipetuahkan sebagai anak keturunan Aceh-Melayu di pesisir selatan propinsi ini.